10. Trampolin

1.8K 238 40
                                        

Vote!

Malam itu, pukul 10 tepatnya. Anjing jantan gempal bernama Zoro, yang sedang tiduran di dalam kandangnya, di taman samping rumah, mulai menyalak keras.

Zoro dikurung di dalam kandang saat malam, sebagai pekerjaannya menyalak untuk menjaga rumah tetap aman dari maling. Meskipun tidak sebesar anjing jenis piaraan lainnya, Zoro masih mampu menakuti orang-orang dengan gonggongannya.

Ia tidak biasanya menyalak jam segini, namun hal itu itu terjadi karena sebuah mobil asing baru saja datang dan terparkir di halaman rumah. Tidak bisa disebut asing juga karena mobil itu pernah sesekali datang ke rumah, meskipun memang jarang.

“Jantan sudah besar.” Zoro terdengar memperkuat suara gonggongan jantannya saat sebuah tangan menyentuh pagar besi miliknya. Anjing itu mulai diam saat sosok yang tadi mendekat sudah melangkah ke dalam.

“Mana anak itu? Belum pulang juga?”

“Belum, Tuan. Biasanya dia…” Mang Tono terdengar menggantung perkataannya, seolah baru saja kelepasan. Ia merutuki diri.

“Biasanya juga nggak pulang, kan? Dasar berandal.”

Mang Tono hanya bisa menunduk segan, tidak berani berucap sedikitpun. Ia kemudian membungkuk lagi sebelum akhirnya melanjutkan pekerjaannya di dapur.

Bisa ditebak hal apa yang akan terjadi ketika sosok itu datang ke rumah ini. Tentu saja masalah yang biasa.

Dari luar, salakan Zoro kembali terdengar. Salakan yang lebih tepatnya kegirangan.

Semua pun mungkin bisa membedakan suara anjing ketika dia gembira atau curiga. Zoro cukup pintar untuk tahu bahwa pemiliknya sudah datang.

“Roro Jonggrang!!”

Saka berlari kecil mendekati anjingnya yang sudah melompat-lompat. Laki-laki itu mengelus-elus kepala Zoro, membuat anjing gempal itu menjulurkan lidah dengan ekor yang naik ke atas.

“Cuma lo yang bersorak ngeliat gue datang, Ro.” Saka terus memainkan jarinya di bawah dagu Zoro. Ia tersenyum kecil melihat anjingnya yang bersemangat.

Sambil mengelus anjingnya, Saka menelengkan kepala, menatap pekarangan rumah. Matanya menyipit karena baru sadar ada mobil yang terparkir di sana.

Anak laki-laki itu menghembuskan nafas malas, ia mengerlingkan mata seolah bisa melihat hal berat apa saja yang akan datang.

“Gue masuk dulu, Ro. Tenang aja, paling memar doang.” Ia mengelus kepala Zoro lantas bangkit dan melangkah masuk.

Percayalah, Saka paling benci adegan ini. Adegan dimana ia, anggap saja pemeran utama, sebagai anak laki-laki yang masih mengenakan seragam sekolah berantakan, yang baru pulang ke rumah saat larut dan dipergoki oleh sosok yang disebut Ayah.

“Dari mana saja kamu?”

Baru lima langkah, perkataan itu sudah cukup membuat Saka terhenti. Ia menghela nafas malas, lantas menoleh.

“Apa peduli Papa?” katanya, sinis. Tangan kanannya menenteng tas, sebelahnya lagi masuk ke dalam saku celana.

Pria paruh baya yang selalu datang dengan jas elegan itu menggertak, ia menahan kesabaran sebelum akhirnya melempar dengan keras selembar surat ke atas meja.

Saka memandang kertas itu. “Apaan?”

“Yang harusnya bertanya itu Papa, bukan kamu!” Papa mulai membentak, membuat Saka semakin ingin menghilang begitu saja dari hadapannya.

“Apa-apaan ini, surat peringatan lagi? Kamu bolos basket?!” Suaranya mulai meninggi.

Saka tertegun sejenak, lantas meraih kertas itu dan membacanya. Sial, rupanya sudah hampir satu minggu ia tidak turun latihan. Entah ia kemana, intinya ia sendiri juga lupa.

ZERASAKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang