21. Ramen

1K 118 90
                                    


Jalanan mulai sepi. Lampu yang seharusnya merah kini berkedip-kedip dengan warna kuning tetap. Meski begitu, tetap saja beberapa kendaraan melaju seenaknya tanpa hati-hati. Seperti pengendara motor yang saat ini tiba di perempatan. Tanpa memandang kanan dan kiri, ia langsung menerobos dengan santai seolah itu jalan bapaknya. Ya siapa lagi kalau bukan Rasaka.

Ia sudah terbiasa berkendara laju tanpa berpikir, namun yang belum terbiasa adalah dipukul-pukul seolah punggungnya adalah karung samsak.

Sejak tadi, Zera memang aktif menghajar punggung belakang cowok di depannya itu karena mengendarai motor ugal-ugalan.

"Lo bisa gak sih pelan-pelan kalau lewat lampu merah?! Kita gak tau ada kendaraan apa aja dari kanan kiri, lo mau cari mati?!"

"Mau sih, tapi gak sekarang."

"Bodo amat, minggir sekarang!"

"Mau nyetir lu?"

"Maksudnya menepi, Tolol!!"

"Tapi belum sampai ngapain nepi?"

"Istirahat, jantung gue mau copot!"

"Kenapa? Deg-degan ya boncengan sama gue?" Saka menaik-turunkan alisnya menggoda Zera.

"GAK USAH BANYAK BACOT BISA GAK?!"

Dengan perasaan ciut seolah baru saja diterkam singa betina, Saka pun menurut dan menepikan motornya di depan sebuah warung kecil. Banyak warung-warung yang berjejer di tepi jalan, biasanya mereka buka 24 jam sehingga tidak heran jika jam segini lampunya masih menyala.

Hiruk pikuk jalanan semakin terasa jelas mengingat saat itu kedunya benar-benar berhenti dan berdiri di tepian jalan raya. Saka memperhatikan sekitarannya. Warung sedang sepi, kedua orang tua yang sudah berumur pemilik warung duduk di balik lemari kaca yang memuat berbagai jenis rokok.

Saka melirik sedikit kepada Zera.

Paras gadis itu khas Sunda dengan rambut hitamnya yang ringan dan jatuh, yang cantiknya natural dengan warna kulit yang indah dan tatapan mata sayu namun tajam yang samar-samar mengingatkan Saka pada seseorang yang pernah ia temui dulu. Entah lah siapa, ia juga tidak peduli.

"Marlboro Menthol nya satu," kata Saka sembari mengambil tempat duduk.

Zera memicingkan mata, ia pun mendekat.

Pria berumur—sebut saja Paman—itu terlihat membuka lemari rokoknya, mengeluarkan sebungkus rokok berwarna hijau hitam lalu mengulurkannya kepada Saka.

Namun, belum sempat sampai ke tangan Saka, rokok tersebut sudah lebih dulu sampai ke tangan Zera. Gadis itu tampak memperhatikan benda itu dengan seksama dari segala sudut, sementara Saka hanya melongo memperhatikannya.

"Rokok itu enak dari mananya coba?" tanya gadis itu, perhatiannya masih terfokus pada Marlboro di tangannya.

"Lo gak pernah merokok jadi gak bakal tau rasanya, sini." Saka memintanya.

"Ya udah, gue mau coba." Zera dengan santai membuka rokok tersebut, berniat menarik sebatang dari sana.

"Jangan ngaco lo!" Sebelum gadis itu sempat mengambil sebatang, Saka sudah menarik rokok tersebut dari tangannya sembari berdiri lalu menjauhkan diri saat sudah dapat.

"Apaan sih gak adil banget, emangnya cuma cowok yang boleh merokok?" Zera protes.

"Gue gak mempermasalahkan gender, semua orang punya hak gak ada yang ngelarang." Saka menaruh rokoknya ke dalam saku lalu mengeluarkan dompet dari sana.

"Kalau gitu kenapa diambil gue kan mau coba," kata Zera masih dengan ketus. Entah ia serius atau hanya bercanda karena ia sendiri pernah menegur Saka saat cowok itu merokok di depannya.

ZERASAKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang