17. Fakta

1.4K 183 112
                                    

Lampu-lampu jingga yang sedikit remang menerangi pertengahan jalan. Hiruk-pikuk kota semakin ramai, ditambah jam segini adalah jam-jamnya orang-orang ke luar.

Entah sudah sampai mana Brian dan Sina, namun di sini lah Zera dan Saka. Masih berada di jalan antah-berantah—yang bisa diyakini bahwa jalan itu adalah jalan tikus—mengisi bensin.

Sejak tadi Zera mengoceh meluapkan kemarahannya, namun Saka tidak menghiraukan ocehan gadis itu.

Ia pun segera menaiki motor, namun detik berikutnya Zera tiba-tiba menahan tangannya. Ia tertegun lantas menepis gamitan cewek itu.

"Apa lagi? Mau ngomel? Udah lah nanti aja, kuping gue udah hampir rusak dengar ocehan lo dari tadi."

Zera tidak mempedulikan omongan Saka. Ia membuka helm di kepalanya lalu menyodorkan helm itu pada Saka.

"Lo pake helm ini dan kita lewat jalan besar. Selesai kan?"

Masalahnya adalah polisi. Helm hanya satu dan dipakai oleh Zera. Jika Mereka lewat jalan utama, tentu saja mereka akan ditilang karena si penyetir tidak berhelm.

Mungkin masalah tidak begitu rumit jika saja helm itu Saka yang pakai, namun cowok itu benar-benar senang mencari masalah.

Ia tidak mau memakai helm. Sejauh ini, itu alasan yang ia katakan.

"Lo aja, gue malas." Lihat lah, ia menolak lagi.

"Lo yang pake!" Dan Zera memaksanya sekali lagi.

"Nggak."

"Ya udah, kalau gitu gue yang bawa motor."

Saka terbatuk, tersedak air liur, lalu kembali menatapnya. "Apa lo bilang?"

"Gue yang bawa motor," ulang Zera seraya memasang kembali helm ke kepalanya.

"Nggak, gue belum mau mati." Saka menggeleng kokoh. Ia belum siap menghadapi sakratul maut di umur yang baru 18 tahun ini. Ia tidak ingin masuk surga secepat itu, kalau saja surga. Namun bagaimana jika neraka yang menantinya di akhirat? Ia sangat tidak siap.

"Lo pikir gue gak bisa bawa motor? Gue bisa lagi, motor apa aja."

"Ini motor berat. Motor King, pake gigi dan kopling. Cara bawanya gak segampang matic."

"Aduh gak percayaan banget sih?! Ayah gue punya jadi gue pernah belajar!"

"Oke, lo yang bawa. Tapi satu syarat, jangan laju. Gue belum yakin lo punya keahlian untuk bisa laju-laju."

"Oke. Satu syarat lagi, lo di belakang jangan pegang-pegang!" tukas Zera mengancamnya. Saka hanya mengangkat tangan. "Udah buruan turun!"

Zera langsung menarik Saka hingga tubuh tinggi itu sudah tidak duduk di atas motornya. Gadis itu berniat menyibakkan rok abunya, namun sedetik menoleh tajam kepada Saka.

"Jangan liat!"

"Ck, iya iya." Saka langsung memalingkan muka sambil menutup mata, meski sebenarnya ia juga tidak ada niat mengintip segala. Gak keren banget.

"Udah belum?"

"Udah, buruan naik!" ujar Zera lagi. "Untung gue pake daleman celana sehari-hari," gumamnya.

Saka pun mau tidak mau naik di belakangnya sambil berdoa meminta pemberkataan dari Tuhan.

Hilang sudah harga dirinya sebagai lelaki perkasa karena dibonceng perempuan. Entah siapa yang membuat aturan seperti itu, seolah kodrat laki-laki adalah membonceng padahal dibonceng pun tidak ada salahnya. Dasar gengsi.

"Tolong, pelan-pelan aja. Lo gak mau cepat-cepat ketemu sang pencipta, kan? Jadi gue mohon dengan rendah hati, tolong jangan langsung ngegas."

"Diam, gue gak bisa fokus! Pegangan ke belakang... satu... dua... tiga...!!"

ZERASAKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang