"Ayo cepat berbaris! Anak kelas dua belas ini mana kok belum ada yang muncul toh? Ayo segera ke lapangan sebelum Bapak alpa kan!"Seruan khas berlogat Jawa milik Pak Rudi terdengar menggelegar menyapu seluruh lapangan basket kala itu.
Hari ini jadwal guru medok itu padat, belum lagi ada kegiatan di luar sekolah siang nanti. Jadi mau tidak mau kelas dua belas yang sebenarnya jadwal pelajaran Penjaskesnya siang nanti pun harus turun ke lapangan, bergabung dengan kelas sebelas IPA yang juga diajar oleh Pak Rudi sendiri.
Waktu baru menunjukkan pukul 10.30, cuaca tampak mendukung dengan sinar matahari yang baru-baru muncul dari balik atap gedung bagian Timur.
Koridor sepi karena murid-murid sudah masuk kelas, mengikuti pelajaran masing-masing. Sementara yang berolahraga di lapangan saat ini hanya dua kelas, yakni sebelas IPA dan dua belas IPS.
"Athena, kamu ketua kelas kan?" tanyanya kepada sosok gadis bercepol satu yang baru saja melangkah memasuki lapangan.
Zera mendongak bingung. "Bukan Pak, si Rangga tuh!" Gadis itu menunjukkan jari kepada sosok cowok bertubuh bongsor dengan kulit hitam legamnya di sana.Lapangan sudah mulai penuh oleh anak kelas sebelas. Tessa, Kelly dan Sarah pun baru terlihat setelah beberapa menit Zera menunggu ketiganya di bawah tiang basket.
"Woi buruan! Lelet amat sok princess!" tukas Zera kepada ketiga sobatnya sembari mengipasi diri dengan tangan kosong, berusaha berlindung di bawah tiang basket itu. Kelly terkekeh ringan lantas mempercepat langkah, sementara Sarah dan Tessa sudah berlari kecil mendekatinya.
"Tumben lo telat? Tante Mila kemana?" tanyanya kepada Tessa yang baru saja berdiri di sampingnya.
Gadis itu tersenyum sekenanya. "Mama ada kerjaan, jadi gue naik taksi deh. Tadi macet banget, makanya telat dikit."
"Oh gitu." Zera mengangguk menanggapinya. Kelly dan Sarah pun ikut berbaris rapi di belakang Zera dan Tessa.
"Sudah kumpul semua kah yang kelas sebelas?" tanya Pak Rudi lagi. Menurunkan sedikit frame kacamata rangkap yang dipakainya, meneliti wajah-wajah siapa saja yang sudah berbaris di depannya. Tangannya memegang sebuah bola basket, sebelahnya lagi memegang kertas absen.
"Yang kelas sebelas udah lengkap Pak, tiga puluh tujuh orang" jawab Rangga setelah menghitung anak buahnya yang sudah berbaris rapi di belakang. Anak kelas sebelas IPA memang terkenal dengan isinya yang teladan semua, mudah diatur dan tidak bandel seperti kelas lain.
Pak Rudi magut-magut, lantas kembali menyipitkan mata. "Loh, yang kelas dua belas ini mana ini??" tanyanya heran.
Zera dan teman-teman lainnya hanya mengangkat bahu sekenanya, tidak ambil pusing akan hal itu. Lagipula, tidak heran kalau anak-anak yang Pak Rudi maksud tersebut tidak turun ke lapangan.
Hal itu sudah biasa, apalagi untuk ukuran anak-anak IPS yang tengil dan nakalnya minta ampun. Terlebih lagi jika anak kelas dua belas IPA ikut bergabung, mungkin anak IPS tidak akan pernah turun ke lapangan.
Dua kelas itu memang selalu bersaing dalam banyak hal dan tidak pernah bersahabat sejak zaman dahulu adanya.
"Coba satu orang panggil ke belakang, suruh turun ke lapangan sekarang," lanjut Pak Rudi lagi.
Mendengar hal itu, semua orang pada membeku, saling pandang dan tidak berani bersuara. Sepertinya hal itu terasa sedikit menakutkan bagi beberapa orang hingga harus takut bersuara.
"Loh, kok diam? Ayo satu orang panggil ke kelas belakang."
Murid yang berbaris malah semakin menunduk diam, tidak berani menatap guru olahraga di depan mereka. Lain halnya dengan Tessa dan ketiga sobatnya yang masih terlihat berbincang santai, seolah tidak ada terjadi apapun.

KAMU SEDANG MEMBACA
ZERASAKA
Novela Juvenil[SEQUEL ANTARES] [FOLLOW SEBELUM MEMBACA] Ketika emosi mengalahkan logika, terbukti banyak gengsinya. Hadirnya Brian dan Saka membuat Zera harus terjebak dalam pesona misterius mereka. Semuanya bertambah rumit saat Zera tahu yang sebenarnya. Tidak...