12

144 14 5
                                    

Kedua mata biru Scarlett menatap Sebastian dalam. Sebastian yang ditatap hanya diam seribu bahasa karena heran dengan Scarlett.

"Rokok?"Scarlett menyerahkan satu kotak rokok berwarna putih kepada Sebastian, Sebastian menggeleng cepat.

"Lo suka, ya, sama Camelion?"Tanya Scarlett seraya mengisap rokoknya. "Keliatan."

"Siapa sih yang gak suka sama Camelion?"Tanya Sebastian balik."Gue mau pulang, lo emang tinggal disini?"

Scarlett mengangguk pelan."Kenapa? Kaget? Jalang kok bisa tinggal di tempat mewah?"

Sebastian berdecak."Berisik, gua mau pesen uber."

"Gue minta nomor lo, dong. Kali butuh jasa gue,"Ujar Scarlett, Sebastian memutar matanya jengkel.

"Minta aja sama Chris,aelah."

"Gue pengen ngomong serius sama lo, Seb. Bukan karena gue pengen lo pake jasa gue."

****

Camelion menatap tubuh Harry dan kekasihnya yang terkapar diatas ranjang tanpa busana. Camelion terkekeh, ia ingat ketika masih berpacaran dengan Harry dan tak ada satupun kebutuhan biologis Harry yang ia penuhi, karena janji Camelion pada dirinya sendiri bahwa; "no sex before marriage."

Hari ini Camelion memutuskan untuk menginap di flat Harry karena Chris ada dinas ke Maroko seminggu. Ia tidak tahu harus kemana setelah kematian dua sahabatnya.

Camelion pun berjalan menuju balkon, ditemani secangkir coklat hangat dan pemandangan flat Harry yang menampakkan kota New York.

Sebuah video call masuk, tentu saja dari Chris.

"Kamu dimana?"

Camelion tersenyum."Staycation, aku lagi off kerja minggu ini."

"Loh, tau gitu kamu ikut aku aja ke Maroko?"Balas Chris.

"Aku gamau ganggu kamu, Chris."

"I miss you, maaf ya aku terlalu sibuk."

Camelion tersenyum tipis."Gapapa, oh iya aku tidur dulu ya, udah ngantuk."

"Okay, see you mi amore. I love you."

"Love you too."

Camelion memutuskan panggilan sambil menatap bintang-bintang di langit. Ia mengingat kejadian beberapa hari lalu terkait Scarlett dan Sebastian, entah mengapa Camelion merasa ada yang tidak beres diantara mereka. Tapi entahlah, semoga firasat Camelion salah.

Di tempat lain, Sebastian tengah terkapar diatas ranjangnya sambil melihat wallpaper ponselnya yang ia ambil beberapa bulan lalu ketika anniversary pernikahan Camelion dan Chris yang ke 6; foto Camelion dengan gaun berwarna merah darah dengan belahan dada yang sedikit terekspos. Sebastian tersenyum pahit melihatnya.

"Kenapa gue baru kenal lo pas lo udah nikah 2 tahun sama Chris, sih?"Gumam Sebastian."Kenapa tuhan gak menakdirkan kita untuk sama-sama, Cam?"

"Kenapa si bajingan itu gak bisa liat worth lo? Kenapa dia selingkuhin lo sama Scarlett yang jelas-jelas gak ada apa-apanya dibanding lo, Cam?"

Pun dalam jarak 3 km, seorang lelaki berusia 27 tahun sedang memandangi foto Camelion pula dengan wine putih di tangan kirinya. Sebelah matanya merah, ia tampak habis menangis.

"You know you are just so gorgeous?" Ujar Zac sambil menatap foto Camelion."Kenapa lo harus punya suami sebejat Chris? Kenapa? Kenapa gak gue aja yang jadi suami lo, Cam?"

***
Camelion tersenyum tipis sambil memperhatikan tumpukan dokumen pekerjaannya. Camelion sangat mencintai pekerjaannya walau melelahkan bukan main, dan tanpa matematika. Kurang bahagia apalagi dirinya?

Satu cup kopi panas terpampang di sebelah mejanya, seorang lelaki berjas coklat itu yang menaruhnya. Siapa lagi kalau bukan Zac, bosnya.

"Have a great day, Cam," Ujar Zac dengan senyum andalannya lalu masuk kedalam ruangannya.

Camelion kembali tersenyum sambil menatap cup kopi tersebut. Mimpi apa dia, memiliki seorang bos yang sangat mengerti kebutuhan pegawainya. "Thanks Zac." Gumamnya pelan lalu mulai menenggak kopi hangat tersebut.

Tatapan Camelion tertuju pada sebuah tumpukan kertas berwarna hijau. Kertas kasus itu menunjukkan kasus setahun yang lalu, dapat dilihat dari tanggal yang tertera. Sepertinya ini skandal kantor, permasalahan yang belum dituntaskan oleh Zac terkait penggusuran di wilayah Manhattan. Camelion pun mulai membaca kasus tersebut, sekiranya ada dua puluh lima keluarga yang tergusur, namun ada satu keluarga yang menyita perhatiannya ; seorang ibu tunggal dan anak perempuannya.

***
Camelion mengeratkan coat nya yang berwarna krem itu, langkah kakinya pelan menuju sebuah rumah yang tampak seperti tempat sampah. Ia menelan ludahnya.

"Hey mau ngapain kamu kesini?!"Teriak seorang ibu berwajah bundar dan mata yang tajam, di sebelahnya ada seorang anak kecil yang sedang menangis.

"A-anu bu, s-saya-"

"Kamu dari Zac Corp company apalah itu, saya gak butuh belas kasihan kalian!" Teriak sang Ibu kembali, mmebuat seisi jalanan Manhattan menatap keduanya.

"Benar bu saya dari Efron Company, tapi saya datang kesini karena inisiatif saya sendiri, tidak dilatarbelakangi oleh kantor,"Ujar Camelion."Nama saya Camelion, saya lawyer baru di Efron Company. Saya kesini ingin tau terkait kondisi ibu dan anak ibu. Saya gak berni-"

"Saya udah capek sama perusahaan perhotelan gak jelas kamu itu! Sekarang cepat pergi kalau pada akhirnya kamu hanya mau saya menandatangani kontrak!"

"Nggak bu, saya cuman mau—"

"PERGI! Gak cukup hah perusahaan tempat kamu bekerja itu bikin anak saya kena gizi buruk? Cepetan pergi!"

Camelion pun meninggalkan sang ibu dan anaknya, ingin sekali Camelion berbincang dengan Ibu tersebut. Dalam kertas kasus yang ia temukan, sang Ibu memang korban penggusuran Hotel Efron cabang Manhattan, sebenarnya niat Camelion baik, ia ingin membantu Ibu dan anak tersebut untuk hidup layak. Namun sang ibu malah menolak niat baiknya.

Camelion pun membuka ponselnya seraya duduk di bangku taman. Ia membuka gallery ponsel , dan menemukan fotonya bersama Raven juga sang mendiang ibu sebelum keluarganya hancur. Ia tersenyum pahit dengan air mata yang mulai menetes.

"Apakah salah menjadi orang baik di dunia yang kejam ini? Aku takut memiliki anak karena takut tidak bisa memberikan kebahagiaan untuk anakku. Apakah kekayaan Chris tidak bisa membuatku bahagia? Bahkan aku tidak tau apa yang Chris rasakan padaku setelah enam tahun menikah tanpa anak.

Jujur aku mulai merasa takut, apalagi setelah melihat kedatangan Scarlett kemarin. Ya Tuhan, semoga dugaanku salah."

Mrs. EvansTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang