34

40 5 0
                                    

Sudah tiga hari ini Chris datang ke daycar untuk menemui sang buah hati, Javier. Anak kandungnya itu terus tersenyum sumringah setiap melihat dad nya datang sambil menggendongnya erat.

Javier memilki mata yang sama dengan Chris, hidup Camelion, dan bibir milik bapaknya. Javier bisa dibilang sangatlah tampan jika ia dewasa nanti.

"Dad seneng banget kita bisa jalan-jalan, kamu mau kemana, Javi?" Chris terkekeh. "Gimana kalau ke taman? Pasti sekarang kamu bilang, ihh dad nanya sendiri jawab sendiri."

Keduanya pun berjalan keluar daycare menuju taman terdekat, sekedar mengajak Javier agar sang anak bisa merasakan kebahagiaan dari lelaki yang baru memiliki putra itu.

Sementara di tempat lain..

Zac mengetikan nomor ponsel bodyguard nya, ia melirik Camelion, kekasihnya masih tertidur lelap karena bermain bersamanya semalaman.

"Baroq, Javier sama Chris?" Tanya Zac."Ibunya udah gak ada lagi?"

"Udah gak ada bos, ibunya cuman pas hari pertama aja. Sekarang si Chris terus yang dateng."

"Gue mau kalian culik si Javier, biar kita bisa eksekusi anak itu."

"Dipegang bapanya terus, bos. Paling harus ngehajar bapanya."

"Trus lo takut?!"

"Tidak, bos. Siap laksanakan. Baik kami akan menunggu aba-aba."

"Jam 9.25 a.m. langsung abisin dua-duanya."

Zac pun mematikan ponselnya, ia terkejut karena melihat Camelion memandanginya sejak tadi.

"Hah? kenapa sayang?" Tanya Zac."Kamu udah bangun?"

"Udah, aku kaget kamu pagi-pagi nelfon siapa, sih?" Tanya Camelion.

Zac menggeleng. "Ini partner bisnis aku. Yuk kita sarapan."

Camelion mengangguk sambil menyambut genggaman tangan Zac.

****

Sepanjang perjalanan, Chris hanya tersenyum bersama Javier. Menghampiri anak-anak lain, menyapa burung sambil tersiram sinar matahari pagi itu, hingga di goda beberapa ibu-ibu karena mereka menganggap Chris sebagai single parent.

"Pak Chris, istrinya mana?"
"Sama saya yuk pak anaknya di gendong."
"Bapa nanti malem kemana?"

Dan pertanyaan gila lainnya. Chris hanya tertawa.

Jalan sore keduanya tentram dan penuh kehangatan, sampai sepuluh lelaki dengan jas datang mencegat keduanya. Chris berdecak.

Pasti anak buah Zac.

"Serahkan anak itu sekarang!"

Chris berdecak kembali."Ini anak saya, kalian gak ada hal untuk merebut dia dari saya. Sekarang saya minta kalian pergi, kasihan anak saya."

"Cepat serahkan! Gak ada alasan!"

Chris berdecak. Bagaimana caranya menghadapi 10 lelaki bertubuh besar sepertinya dengan tangan yang sedang menggendong Javier, jika Javier ia letakkan terlebih dahulu, maka banyak kemungkinan saat ia menyerang 10 pria itu, Javier dirampas oleh orang ke 11.

Chris pun bergegas lari meninggalkan 10 lelaki itu, berharap mereka tidak mengikutinya, namun nihil, mereka malah mengejar Chris dan putranya.

fuck, harus kemana ini.

DOORRRR....

***
Camelion menangis di pundak Lisa, tangisannya tidak kunjung usai. Pikirannya kalut, hatinya kacau. Javier dan Chris menjadi korban penembakan sore tadi. Waktu sudah menunjukkan pukul 12 malam, namun operasi Chris dan Javier tidak kunjung usai.

Sebastian menatap Camelion dari ruang kerjanya, ia tidak sanggup melihat wanita yang ia sayangi itu harus menangisi putra dan mantan suaminya. Sebastian tau, jauh di lubuk hati Camelion yang terdalam, wanita rapuh itu masih mencintai Chris seperti asa yang tidak pernah jauh.

Sebastian memencet nomor ponsel Raven, berharap ini bukan rencana busuk Raven.

"Kok gak diangkat, ya?"

Sebastian pun mematikan ponselnya karena Raven tak kunjung menjawab. Ia pun kembali duduk di kursi kerjanya dan mulai berdoa untuk keselamatan Chris; mantan sahabatnya dan Javier.

Drdttt..

"Halo?"

"Selamat malam pak Sebastian, apakah benar anda mengenal Raven Kensington?"

Sebastian menelan ludahnya. "Iya, saya kenal Raven, pak."

"Iya, begini pak. Pacar bapak ditemukan tidak bernyawa di balkon apartemennya."

Mata Sebastian membelalak. Bola matanya hampir mencelos keluar. "Saya segera kesana."

Sebastian bergegas mematikan lampu ruangannya untuk pergi ke basement. Suara tangisan Camelion masih terdengar, Sebastian ingin sekali memeluknya sambil mengecupi puncak kepalanya beberapa kali, namun sekarang Raven jauh lebih membutuhkannya.

Sesampainya di apartemen milik Raven, Sebastian pun berjalan cepat menuju polisi yang menelfonnya tadi. Apartemen Raven terasa lembab dengan bau anyir darah yang menyeruak di indra penciumannya.

"Aah, pak Sebastian, saya Josamuel, polisi yang menelfon bapak. Saya turut berduka cita," Ujar Josamuel."Diperkirakan kematian ibu Raven Kensington pukul 5 sore. Ini ada surat untuk Ibu Camelion dan untuk pak Sebastian."

Tangan Sebastian bergetar setelah meraih surat tersebut. Ia membaca puncak surat dengan kertas yang terciprat darah itu.

To: Sebastian, the father of my daughter

To be continue..

Mrs. EvansTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang