Chapter 4. Kebutuhan

33 1 5
                                    

Rumah untuk pulang? Rey bertanya dalam hati, mencari jawabannya sendiri.

“Walau udah nikah, kamu sama Lula bahkan enggak putus hubungan. Bayangin sendiri perasaan Sindy gimana waktu itu. Mbak tau dia pun pasti ngerasa kalo pernikahan kalian jadi beban. Dia kebingungan, mau gimana, ya dia terpaksa. Tapi yang Mbak liat, dia ada rasa—”

“Nah, itu!” Rey menyela, menepuk tangan seolah pukul nyamuk, lalu menjentikkan jari. Benar-benar mengejutkan Titi. “Bener, kan, Mbak?”

“Apanya?” Titi mendelik kesal.

“Itu, Sindy sebenarnya ada rasa ke aku.” Rey langsung cengar-cengir. Sejak awal sulit baginya menerima kenyataan kalau yang disukai Sindy bukannya dia, melainkan pria lain.

“Jelas ada dong. Kan dia sampe sebegitunya bakti ke kamu sebagai istri. Tapi ....”

“Tapi apa, Mbak?” Keceriaan menyusut dari wajah Rey.

“Emm ... bisa jadi cuma sandiwara.”

“Sandiwara?” Debar jantung Rey mulai mengarah pada hal-hal berbau negatif. Padahal tahu kalau memang Sindy murni cuma menjalankan kesepakatan mereka saja selama tiga tahun bersama.

Titi angguk-angguk lemas. Ikut-ikutan terbawa pikiran negatif si adik. “Iya lho, Rey. Akting. Cuma akting aja. Pembuktian sama ibu kalo dia berhasil jadi istri yang baik buat kamu.”

Waduh! Rey jadi makin tidak karuan. Dugaan Titi benar, tepat sekali. Apa perpisahan memang jalan keluar terbaik untuk saat ini?

***

Rey puas, tidak marah, justru lega. Barusan itu bukan ilusinya seperti tiga hari lalu. Benar, yang saat ini dilihatnya nyata.

“R-Rey? Ngapain kamu di sini?” Lula mencoba mendekat, tapi seseorang yang masuk hotel bersamanya menarik, mengeratkan pelukan di pinggangnya.

“Mastiin sesuatu.” Rey tak berpura-pura tersenyum, apalagi harus marah. Tenang, benar-benar datar.

“Rey, aku ke sini—”

“Buat tidur sama selingkuhan kamu,” sela Rey. “Kalo kamu merasa perlu menjelaskan, aku tunggu di lobi.”

Dalam sepuluh menit, Lula tergesa-gesa menemui Rey di lobi.

“Rey, a-aku ... aku bisa jelasin.” Lula terengah-engah. Dari kamar hotelnya menuju lobi lumayan jauh.

“Ya, jelasin aja. Aku dengerin kok.” Rey santai, cuma kecewa sudah pasti.

“Jadi ... aku sama Tian itu emang ... kami ...” Lula menarik dan menghela napas, susah payah betul. “A-aku tidur sama Tian, bener. Tapi, tapi aku enggak selingkuh. Sumpah! Kami cuma tidur bareng.” Entah seaneh apa sekarang ekspresi wajah cantik Lula yang berubah-ubah. Antara takut, malu, lega bahkan bingung.

“Kamu beruntung, La. Andai aku ngeliat langsung perbuatan kalian tadi, udah pasti aku pukuli sampai mampus.” Mengucapkannya setenang itu jelas memang tidak ada emosi di dalam suara Rey. Serius, dia tidak mau mengotori tangannya. Terlalu berharga naik pitam di depan sampah seperti Lula dan selingkuhannya.

Lula diam dengan tangan mengepal di sisinya. Takut? Ya iyalah. Sampai-sampai dia tidak berani bertanya soal siapa yang akan dipukuli sampai mampus oleh Rey. Aku atau Tian? Malah bisa jadi kami berdua sekaligus.

Kengerian meliputi Lula. Mau taubat, tapi ‘junior’ Tian rasanya enak, luar biasa bikin nagih. Lula jadi geleng-geleng kepala sendiri menyadari dirinya yang tidak tahu malu.

“Udah berapa kali?” Rey bukan mencoba percaya, tapi hanya menguji. Aneh mendapati dirinya cuma kecewa pada tindakan Lula yang mengkhianatinya. Serius, kenapa aku biasa aja, ya?

𝐀𝐭𝐫𝐞𝐲𝐮Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang