Waktu awal Buttercup Bakery dibuka, Sindy ikut turun langsung untuk membuat kue dan roti andalan di tokonya. Merangkak perlahan menjadi sedikit lebih maju, Sindy melepas diri dari dapur karena ingin fokus menyiapkan kehamilan yang sangat diidamkan. Sekalipun belum mendapatkan kesempatan hamil sampai sekarang, dia dan Bima terus berusaha.
Setiap harinya, Sindy tetap rajin berkunjung untuk sekedar memastikan situasi dan kondisi di toko. Sesekali bahkan terjun langsung melayani pembeli.
Sindy dan Bima tahu tentang kepulangan Rey, namun sepakat menyikapinya dengan bijak lantaran dua tahun telah berlalu. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, bukan? Sindy pun tidak terlewat percaya diri kalau Rey masih menyimpan keinginan untuk kembali padanya. Ah, mustahil. Mana mungkin. Kepergian Rey menjadi bukti bahwa pria itu membutuhkan pelarian lain. Menjadi pribadi yang terbaik menurut versinya, pun siap menjalani kehidupan baru. Sindy yakin pada akhirnya Rey menyerah dengan sendirinya.
Dan Rey—Si mantan suami. Tidak akan bertingkah kalau itu sudah menyangkut Bima di dalamnya. Sindy dan orang-orang terdekat percaya bahwa Rey tidak berani mengusik Bima. Atau lebih tepatnya, enggan mencari masalah dengan si sulung. Mereka seperti dua pria dewasa yang saling menghormati satu sama lain.
Sindy baru keluar dari toko, berencana membeli sebuket bunga di florist ujung jalan untuk dibawa menjenguk Julia yang sekarang terbaring di ranjang rumah sakit, akibat kelelahan bekerja. Dia sudah janji akan datang sebelum jam makan siang. Sebenarnya, yang Julia inginkan itu aneka campuran buah potong yang sudah dikemas dalam wadah, bukannya bunga. Namun Sindy lebih suka tangannya dipenuhi bunga segar saat nanti masuk ke ruangan Julia yang seluruh sudut pasti bau obat. Buah potong dalam kemasan nanti pasti dibeli setelah dari florist.
Tiba-tiba sekali, sambil melangkah, Sindy memikirkan kemungkinan andai berpapasan dengan Rey di jalan atau di mana pun itu, ketika sepertinya benar seseorang yang mirip Rey baru saja berjalan melewatinya.
Berhenti, Sindy menoleh ke kanan. Melihat sosok tinggi menjulang yang tampak mirip Atreyu Harnanta, tapi rupanya bukan.
Merasakan kemudian kalau jantungnya berdebar, Sindy bergidik sendiri. Jika sudah berkaitan dengan Rey, Sindy selalu tidak nyaman. Aneh sekali dia merasai kalau keberadaan Rey kini ada di sekitarnya.
Merutuki diri, Sindy bersikeras agar jangan ada lagi Rey dalam hatinya. Meski mana mungkin bisa dihilangkan begitu saja, sebab mereka tetaplah satu keluarga. Dia dan Bima telah memikirkan kecanggungan yang pasti terjadi di antara mereka. Bima selalu bilang untuk tidak perlu mencemaskan Rey, karena dia tahu betul sifat adik bungsunya.
Memang Bima benar. Dirasa lagi, Sindy ingin tetap menjaga jarak dengan Rey. Mantan suami jadi adik ipar, bukanlah hal yang lumrah terjadi di kalangan mereka.
“Ada yang bisa dibantu, Mbak?”
Sindy terlonjak. Kapan dia sampai? Rasanya tadi dia melamun di tempat, bukannya sambil berjalan.
“O-oh, krisan sama mawarnya.” Sindy bingung, sekaligus heran. Kok bisa-bisanya dia melamun sambil jalan?
“Masing-masing berapa tangkai, Mbak?”
Sindy mengedarkan pandangan ke sekeliling ketika aroma yang dulu sering terendus dalam jarak jangkau indera penciumannya, tiba-tiba tercium lagi. Wanginya mas Rey.
“Mbak?”
Sindy masih merasai aroma khas Rey di hidungnya.
“Mbak? Halo?”
“Eh, iya! Kenapa, ya?” Sindy terlonjak lagi. Kikuk dan malu seketika.
Si penjual bunga tersenyum geli sambil geleng kepala. “Mbaknya melamun terus, nih. Saya nanyak, krisan sama mawarnya, masing-masing berapa tangkai?”
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐀𝐭𝐫𝐞𝐲𝐮
Roman d'amour❝𝐊𝐚𝐝𝐚𝐧𝐠 𝐚𝐩𝐚 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐤𝐢𝐭𝐚 𝐢𝐧𝐠𝐢𝐧𝐤𝐚𝐧, 𝐡𝐚𝐫𝐮𝐬 𝐣𝐚𝐝𝐢 𝐦𝐢𝐥𝐢𝐤 𝐨𝐫𝐚𝐧𝐠 𝐥𝐚𝐢𝐧 𝐝𝐮𝐥𝐮 𝐬𝐞𝐛𝐞𝐥𝐮𝐦 𝐚𝐤𝐡𝐢𝐫𝐧𝐲𝐚 𝐣𝐚𝐝𝐢 𝐤𝐞𝐩𝐮𝐧𝐲𝐚𝐚𝐧 𝐤𝐢𝐭𝐚. 𝐌𝐚𝐤𝐚𝐧𝐲𝐚, 𝐛𝐞𝐫𝐣𝐮𝐚𝐧𝐠 𝐚𝐣𝐚 𝐭𝐞𝐫𝐮𝐬. 𝐌𝐚𝐬𝐢𝐡...