Chapter 18. Katanya Enggak Rela

18 2 0
                                    

Masih jam tiga pagi ketika Rey coba menggoda. Biasanya Sindy tidak terbawa perasaan. Beberapa kali dilempar kalimat-kalimat rayuan, nyaris tidak mempan. Namun kali ini dia terdiam. Ditatapnya Rey hampir tak berkedip.

“Kalo kamu diam aja, aku gerak duluan, nih. Aku cium, ya?”

Barulah Sindy mengerjap-ngerjapkan matanya, terkejut. “Eh, eh. Jangan, Mas!”

Pura-pura enggak dengar. Rey melancarkan aksinya bertepatan ketika Sindy bersiap melepas diri darinya. Ditahan si mantan istri, dipertemukan bibir mereka.

Sengaja tidak memejamkan mata, Rey melihat keengganan Sindy pada awalnya. Bahkan bibir perempuan itu kaku, dingin tidak memberi balasan. Barulah ketika Rey coba menjilati setiap permukaan dengan lembut, dirasakannya Sindy tersentak bukan meronta. Si mantan istri berangsur rileks.

Pelan, Rey membawa kedua lengan Sindy agar berada di lehernya. Sengaja di tempatkan dalam posisi begitu agar Sindy tidak perlu canggung kalau ingin memeluk erat.

Kalian pasti tahu lanjutannya, kan? Yap! Mereka berbagi kehangatan dalam rongga mulut yang berbeda. Seolah menjadi satu, dimulailah permainan lidah dan berakhir saling membelit, lalu terengah-terengah.

“Mas …” lirih Sindy, serak. “Udah, Mas.”

Rey masih belum merasa cukup. Karena wajah Sindy agak menghindar, dia mencari titik sensitif yang lain. Leher! Rey mendapatkan apa yang dia mau. Bagian halus lembut beraroma parfum yang samar-samar itu kini menjadi tempat bibirnya memberi kecupan berulang kali.

“Aww! Mas, jangan dihisap!” Sindy memukul pundak Rey. Mencubit, lalu tidak sengaja bersuara mirip desah kala Rey menjilat bekas hisapannya.

Sembunyi-sembunyi Rey tertawa. Kesenangan yang bukan sekedar membuatnya merasa puas, tetapi juga bahagia. Sesederhana ini rupanya. 

“Mas ngetawain aku?” Sindy menemukan raut Rey yang diam-diam tertawa di balik punggungnya, cepat dia curiga, sebab memang selalu begini perasaannya tiap kali bersama dengan Rey. Sejak mereka berpisah.

“Enggak, ah.” Berusaha agar suasana kembali semenyenangkan saat berciuman, buru-buru Rey mengangkat Sindy agar duduk di pangkuannya.

“Mas Rey!” Sindy memperhatikan bagaimana tangan kanan Rey yang terluka tidak digunakan, tapi cuma dijadikan tumpuan sesaat agar bisa membantu tangan kiri mengangkat bobot tubuhnya.

“Lantainya dingin.” Rey mengeratkan pelukan di pinggang Sindy. Mereka tidak saling berhadapan. Sengaja, karena dia tahu kalau Sindy pasti tidak nyaman bertatapan mata dengannya. Secara langsung, terlalu dekat.

Bukan terbawa suasana, Sindy cuma tidak mau bersikap bar-bar seolah menunjukkan dia jual mahal, padahal suka dicium dan diperlakukan mesra oleh Rey. Aslinya kan tidak begitu. Tidak, mana mungkin!

Tanggapan Sindy harus berbeda untuk si mantan suami. Lantaran apa? Karena dia selalu menduga bahwa Rey sedang menjalankan aksi balas dendam padanya. Dia tidak mau tertipu.

“Kadang-kadang aku juga suka duduk di lantai.” Sindy menatap lurus, ke mana saja asal bukan ke samping. Sebab dia tahu kalau Rey sedang memandanginya dari belakang saat ini—di balik punggungnya.

“Sesekali biar aku pangku.”

Kasar Sindy mengembuskan napas. Agar Rey sadar, supaya Rey tahu diri. “Walaupun sesekali, tetap enggak boleh kayak gini, Mas.”

“Makanya aku ngajak balikan. Kita coba sekali lagi. Mau, ‘kan?”

Sindy menyentuh pelan lengan Rey yang melingkari pinggangnya. “Mas, percuma. Pernikahan harus berlandaskan—”

𝗔𝘁𝗿𝗲𝘆𝘂Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang