“Iya, Mbak. Lanjutin aja.” Sebab Rey samar-samar mulai ingat pernah mendengar cerita serupa. Tentu dari ibunya. Cerita yang didengarnya sambil lalu. Masuk kiri, keluar kanan.
“Emm, sampai mana ya, tadi?”
“Sampai suami istri itu bantuin ngurusin semua keperluan ibu di rumah sakit.”
“Ah, iya. Setelah itu, mereka kan enggak nungguin ibu lahiran, karena katanya pamitan sama ibu mau pulang ke rumah orang tua si istri. Pas mobil mereka keluar dari pagar rumah sakit, dari arah belakang ada truk besar yang rem-nya blong, jelas enggak bisa berhenti, langsung ngehantam mobil mereka sampai terseret beberapa meter. Dua-duanya kritis.
“Bayi dalam kandungan si istri rupanya terpaksa dilahirin. Enggak lama setelah melahirkan, dia meninggal. Suaminya menyusul dua jam kemudian.” Bukan ceritanya selesai, tapi Titi perlu bernapas. “Kamu pasti tau kan siapa suami istri yang Mbak ceritain ini?”
Rey mengangguk, walau tahu Titi tidak bisa melihat gerakannya. “Ayah dan ibunya Sindy, kan, Mbak?”
“He-eh. Kata ibu, ibu sempet stress pasca melahirkan kamu. Merasa bersalah, sedih, takut, semua jadi satu. Sampai akhirnya ibu cari tahu ke mana Sindy dibawa pergi oleh keluarga dari pihak ibunya. Ibu selalu merasa, Sindy jadi yatim piatu karena orang tua Sindy nolongin ibu waktu itu.
“Rupanya, nenek Sindy yang ngerawat dia dari bayi. Ibu kita malah kadang ikut bantu sambil bawa kamu, kadang aku atau mas Bima. Berbeda dengan kita, keluarga ayah dan ibu Sindy itu enggak akur. Dari cerita neneknya Sindy, orang tua ayahnya Sindy memutus hubungan keluarga karena enggak merestui pernikahan ayah Sindy.
“Karena akhirnya ibu kita pindah tugas kerja, hubungan dengan Sindy dan neneknya sempet terputus lama. Baru pas ibu lagi jenguk salah satu temen kantornya di rumah sakit, ibu ketemu neneknya Sindy di sana. Nenek Sindy cerita, Sindy kuliah sambil kerja. Hidup mereka berat, tapi Sindy baik-baik aja.
“Ibu merasa bersalah lagi. Dideketi Sindy, dibujuk supaya mau nerima bantuan ibu. Sindy nolak. Dia bilang, dia masih sanggup biayain rumah sakit neneknya dari pensiunan ayah ibunya.”
Seingat Rey dalam keburaman ingatannya, dia belum pernah mendengar cerita yang bagian akhir. Atau mungkin tidak diceritakan oleh ibunya. “Dia nolak bantuan ibu, tapi enggak nolak dijodohin sama aku?”
“Hahaha. Kamu pikir sesimple itu?” tawa Titi di seberang terdengar menjengkelkan di telinga Rey.
“Jadi?”
“Ada alasannya. Mana mungkin Sindy mau nerima dijodohin sama laki-laki kayak kamu tanpa alasan yang kuat.”
Rey tersinggung karena tahu dia seperti yang dimaksudkan oleh Titi, tapi tetap menyuarakannya. “Memangnya aku laki-laki yang kayak apa, Mbak?”
“Ya gitu deh. Kan kamu sendiri tau kamu itu kayak apa sikapnya sama Sindy. Mbak tau lho, Rey. Kamu bisa bohongi ibu kita, tapi kamu enggak bisa tipu aku apalagi mas Bima.”
“Bisa aku minta dilanjutin aja ceritanya, Mbak?” Kesal disudutkan, Rey mengalihkan.
“Iya. Ini Mbak lanjutin.” Titi merengut kesal. “Beberapa waktu sebelum neneknya Sindy meninggal, dia cerita ke ibu kita kalau sebenarnya dia cemas bakal ninggalin Sindy sendirian karena rumah tempat mereka tinggal bakal disita sama rentenir.”
“Siapa yang minjem uang ke rentenir? Sindy?” Rey sungguh tidak ingat ibu mereka pernah berbagi dengannya perihal masalah keluarga Sindy.
“Bukan, neneknya. Rumah itu kan atas nama ayahnya Sindy. Butuh proses segala macem yang bikin ribet kalau balik nama atau apalah itu Mbak ndak ngerti. Pokoknya, nenek kan butuh uang segera waktu itu katanya, jadi enggak bisa ngajuin pinjaman ke bank. Dan itu juga tanpa sepengetahuan Sindy. Jadi Sindy enggak tau apa-apa soal rumah mereka yang dijadiin jaminan sama si nenek.”
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐀𝐭𝐫𝐞𝐲𝐮
Storie d'amore❝𝐊𝐚𝐝𝐚𝐧𝐠 𝐚𝐩𝐚 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐤𝐢𝐭𝐚 𝐢𝐧𝐠𝐢𝐧𝐤𝐚𝐧, 𝐡𝐚𝐫𝐮𝐬 𝐣𝐚𝐝𝐢 𝐦𝐢𝐥𝐢𝐤 𝐨𝐫𝐚𝐧𝐠 𝐥𝐚𝐢𝐧 𝐝𝐮𝐥𝐮 𝐬𝐞𝐛𝐞𝐥𝐮𝐦 𝐚𝐤𝐡𝐢𝐫𝐧𝐲𝐚 𝐣𝐚𝐝𝐢 𝐤𝐞𝐩𝐮𝐧𝐲𝐚𝐚𝐧 𝐤𝐢𝐭𝐚. 𝐌𝐚𝐤𝐚𝐧𝐲𝐚, 𝐛𝐞𝐫𝐣𝐮𝐚𝐧𝐠 𝐚𝐣𝐚 𝐭𝐞𝐫𝐮𝐬. 𝐌𝐚𝐬𝐢𝐡...