Chapter 3. Pada Akhirnya, Cerai!

195 46 14
                                    

Jarang-jarang Sindy bicara panjang lebar begitu. Kebiasaannya pelit omong. Sekarang saatnya, karena selama ini sudah sakit hatinya, luka jiwanya, jatuh mentalnya karena Rey. Namun si pelaku sama sekali tidak merasa pernah melakukannya. Egois!

“Kamu—”

“Ibu udah enggak ada, Mas. Jangan bawa-bawa ibu terus, kasian. Udah cukup pembahasannya. Mas tepati janji aja, karena aku pun udah penuhi janji aku sebelum bu Ratna meninggal.” Menyela, Sindy bicara panjang cepat sebelum Rey menyerangnya lagi.

Rey penasaran untuk bertanya. “Enggak sekalipun kamu ke bawa perasaan sama sikap aku selama pernikahan kita?”

Justru karena sikap kamu sekurang ajar mulutmu, aku makin ingin lepas, pergi jauh darimu. “Enggak, Mas. Aku sadar diri kok. Ngapain ngarapin laki-laki yang dari awal benci sama aku? Bodoh namanya.”

Entah untuk apa, Rey mendengus kasar. “Berarti waktu itu hati kamu cuma buat Jumantara?”

“Ya. Sama kayak Mas. Di hati Mas Rey cuma ada Lula, ‘kan?”

Daripada mengiyakan tebakan Sindy, Rey justru lebih fokus pada jawaban calon mantan istrinya mengenai hati yang terisi buat siapa. Sepertinya, Jumantara sangat istimewa untuk seorang Sindy.

“Tapi hebat, sih. Akting kamu lebih dari dua jempol dari aku. Luar biasa natural gitu, seolah kamu bener istri yang cinta tulus, berbakti ikhlas sama suaminya.” Rey tidak akan habis kesal mengenai betapa bodohnya dia sampai tertipu selama tiga tahun bersama Sindy. Ralat, ya? Rey salah paham, bukannya tertipu.

Sabar, Sin. Sabar! “Awalnya aku emang kepaksa, Mas. Iya bener, persis seperti kata Mas. Aku berusaha memainkan peranku sebaik dan sebagus mungkin sebagai istrinya Mas Rey. Beberapa bulan kita menikah langsung jadi kebiasaan buat aku, bukan lagi akting. Kukesampingkan sikap dan tingkah enggak menyenangkan kamu ke aku. Yang kufokuskan cuma keinginan bu Ratna.

“Lagian, bukannya Mas yang rajin ingatkan aku? Untuk selalu jalani kehidupan pernikahan kita kayak pasangan sungguhan di depan ibu yang sakit parah, supaya ibu enggak curiga, apalagi sampe kecewa. Jadi apa yang kamu ributin lagi, Mas?” Bingung, sungguh bingung Sindy melihat perubahan sikap Rey.

Sementara Rey, pikirannya kacau seketika, isinya entah apa-apa saja hingga rasanya membuat gila. “Setiap kali bercinta sama aku, apa dia yang ada di pikiran kamu? Apa kamu menganggap kalau aku Jumantara?”

Kesambet setan mana sih, dia? “Enggak, Mas. Aneh lho ini. Kita ngomongin apa sebenarnya? Kok Mas larinya ke mana-mana?”

“Aku emang maunya pembicaraan kita ke mana-mana. Jadi jangan bohong!” bentak Rey. Refleks karena pikiran buruk tengah menguasainya.

“Enggak ada untungnya, Mas—hei, Mas! Mau apa?” Panik, Sindy memukul-mukul pundak Rey yang tiba-tiba menggendongnya, berlari membawanya masuk rumah, menuju kamar.

“Mas, turunin! Aku mau pulang!” Meronta pun percuma. Rey si kurus benar-benar kuat.

“Rumah kamu di sini.” Rey yang mulai gila, benar-benar tidak akan menyesali perbuatannya kalau nanti dia sudah sadar.

“Mas Rey, jangan.” Sindy mundur, menggeser tubuhnya terus ke atas sampai kepalanya membentur kepala ranjang. “Mas, udahan. Aku enggak bisa minum pil pencegah kehamilan terus menerus.”

“Enggak usah. Enggak perlu.” Rey menurunkan celana dalam Sindy yang tinggal tarik di balik rok midinya.

“Mas Rey, jangan!” Sindy menahan roknya tersingkap dari kedua tangan nakal suaminya. “Mas, aku enggak bisa—Mas!”

Rey mana peduli. Setelah dibuka lebar-lebar kedua kaki Sindy, dimasukinya pelan di awal, lalu disentak di pertengahan jalan.

“Mas, kamu itu kenapa? Kenapa aku diperlakukan begini?”

𝐀𝐭𝐫𝐞𝐲𝐮Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang