Chapter 10. Akan Lebih Bagus, Hilang Selamanya

13 1 2
                                    

“Jangan panik gitu. Sini dulu.” Rey meraih tangan Sindy, lalu dibawanya ke bawah pohon tinggi rindang di tepi jalan. Cuma sepuluh meter dari barbershop.

Tadinya panik dan tegang, perlahan Sindy berusaha mengatur napasnya sambil menenangkan diri.

“Orang barber-nya bilang apa?” Dilepasnya tangan Sindy sebelum si mantan menepis.

Masih bingung, Sindy menatap barbershop dengan curiga. “Pekerjanya ada beberapa orang, tapi ngakunya enggak liat pas mas Juman keluar.

Barber-nya juga enggak tau?”

Sindy menggeleng. “Mas Juman malah belum sempet potong rambut. Ngantri tadi, makanya kutinggal bentar buat beli es krim.”

Rey melihat kabut di wajah Sindy, bahkan genangan air mata samar-samar. Secinta itu, ya? “Di toilet kali, Sin.”

“Enggak ada, Mas. Tempat terakhir yang aku periksa ya kamar mandi sebelum akhirnya lari keluar.” Sindy masih mengamati setiap penjuru luar barbershop. “Tempatnya kecil, sempit. Enggak mungkin mas Juman enggak keliatan pas aku udah periksa setiap sudut.”

“Orang lain yang ngantri sama dia enggak kamu tanyain?”

Sindy akhirnya menatap Rey, setelah masih merasa ragu kalau suaminya sedang menjahilinya saat ini. “Tinggal satu orang tadi. Mas Juman yang terakhir. Orang yang sebelum mas Juman bilang, sewaktu udah giliran dia yang masuk ke ruang pangkas, mas Juman masih ada duduk nunggu di ruang tunggu sibuk sama hape-nya.”

Rey pun ikut bingung. Mau berpendapat, takut salah omong. “Coba periksa hape-nya aja, Sin. Liat siapa yang terakhir sempat dia telepon selama di barber tadi.”

Sindy mengiyakan lewat tindakan. Langsung diperiksa ponsel Jumantara yang sandi-nya tentu dia hafal.

Sambil menunggu, Rey berjalan mendekati mobil Jumantara. Rencananya mau memeriksa apa pintunya terkunci atau tidak. Sebab dia tidak mau bertanya banyak hal pada Sindy yang cemas, nyaris pucat ketakutan.

Rey melihat seorang laki-laki muda keluar dari barbershop dengan tatapan mata yang ke sana kemari. Lalu melangkah tergesa ke arah Sindy. Rey segera menyusul.

“Permisi, Mbak.”

Rey ancang-ancang dengan menghadang di depan Sindy. “Kenapa, Mas?”

Laki-laki itu menatap Rey dan Sindy bergantian. Sehingga Sindy memilih maju, tanpa harus menyingkirkan Rey.

“Mbak tadi nyari mas-mas yang pake kaos putih berkulit agak gelap, ya? Yang nunggu paling akhir?” Si pria muda itu akhirnya bertanya pada Sindy, sebab merasa tidak ada urusan dengan Rey.

“Iya.” Cepat Sindy mengangguk. Tadinya dia sudah bertanya pada laki-laki itu di dalam barbershop, tapi mengaku tidak melihat.

“Saya pikir tadi Mbak nanya mas-mas pake kaos putih yang satu lagi. Karena sebelumnya saya liat ada dua orang yang duduk di ruang tunggu barbershop pake kaos warna putih.”

Sindy langsung bersemangat. “Maaf, Mas, saya juga salah. Tadi saya ngasih taunya enggak detail. Suami saya ini tingginya satu tujuh lima. Kulitnya sawo mateng. Rambutnya item lurus.”

“Oh!” Si laki-laki muda itu langsung angguk-angguk. “Bener berarti. Kalo mas yang itu saya sempet liat tadi waktu mau ngambil sapu di dekat ruang tunggu. Masnya keluar, terus naik ke mobil Mercy yang udah nunggu di depan, Mbak.”

Mobil Mercy? Siapa? “Makasi Mas buat informasinya.” Benak Sindy langsung dipenuhi oleh beragam dugaan, entah baik atau buruk, namun rasanya kenapa harus janggal begini?

𝐀𝐭𝐫𝐞𝐲𝐮Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang