Chapter 5. Om Duda

24 1 3
                                    

“Om Duda!”

Rey kaget. Menoleh cepat, celingak celinguk mencari asal suara. Panggilan itu sudah pasti untuk dirinya.

“Hehehe, Om Duda!” Yasmin—putri tertua Pandu dan Titi, keluar dari persembunyiannya sambil cengar-cengir.

“Heh, si MinMin! Bikin kaget Om-nya aja. Sini kamu!” Rey tidak perlu mengejar, karena Yasmin berlari ke arahnya.

Sekedar informasi, Yasmin sedang di minimarket dekat rumahnya bersama Pandu. Melihat kedatangan Rey—si om duda hot yang tengah membeli kopi kalengan, diam-diam langsung dikejutkannya karena dia tahu kalau Rey tidak pernah bisa marah padanya atau adiknya.

“Om, turunin Yasmin. Yasmin kan udah gede.” Tubuh gadis tujuh tahun itu merosot paksa dari gendongan Rey.

Rey terkekeh. “Mana papa kamu?” Sudah dibiarkannya Yasmin turun.

“Itu, lagi milih buah pesanan mama.” Yasmin menunjuk ke arah Pandu yang benar fokus memilih apel, sampai-sampai tidak sadar kalau putri sulungnya memanggil Rey ‘Om Duda’ dengan begitu bebasnya.

“Apel Fuji, Mas. Mbak Titi enggak suka apel Anna.” Rey sudah di sisi Pandu yang disambut keterkejutan.

“Oh!” Pandu bergantian menatap apel dalam genggaman, lalu pada adik iparnya. “Aku baru tau kalau Titi enggak suka apel Anna.”

“Dia emang lebih suka ngikut. Dikasih apa aja diterima, dimakan, apalagi kalo gratisan.” Rey berakhir dengan tawa. Bukan mengejek kakaknya, tapi memang sesantai dan se-fleksibel itulah si anak tengah.

Pandu ikut terkekeh. Meletakkan apel Anna kembali ke kawanannya, mengambil enam apel Fuji berukuran sedang, lalu memasukkannya ke troli.

“Siapa yang ngajarin kamu manggil Om begitu tadi?” Rey mencolek pipi Yasmin yang berniat memanjat troli.

“Aku denger mama manggil Om Duda di telepon.” Yasmin senyum lebar. Barisan giginya benar-benar putih, bersih dan rapi.

Memang, terakhir kali Rey dan Titi berkomunikasi tepat sehari setelah status duda disandang oleh seorang Atreyu Harnanta. Bahkan Titi mengoloknya dengan penuh kegembiraan di telepon. Om Duda.

Pandu terbahak, begitu pun Rey. Selagi Yasmin bergegas lari pergi mencari peralatan menulis yang baru, Pandu melirik Rey yang berulang kali mengecek ponsel. Urusan pekerjaan. Ditinggalkannya tadi demi mengintai Lula, memastikan.

“Gimana rasanya?”

“Ya? Apanya, Mas?” Rey mendorong masuk kembali ponsel ke saku celana. Sekarang fokus pada kakak iparnya.

“Jadi Duda hot. Julukan itu cocok buat kamu.” Pandu bercanda, disambut tawa singkat oleh Rey.

“Belum berasa apa-apa, Mas. Baru beberapa bulan.”

“Kemarin aku sama Titi ketemu Sindy di acara nikahannya anak temen ibu.”

Nama si mantan istri disebut, debar tidak normal itu pun datang lagi.

“Oh, ya? Temen ibu yang mana?” Pura-pura Rey membahas yang lain sebelum pada intinya.

“Bu Nandini. Temen sekantor mendiang ibu. Anaknya Bu Nandini yang nikah itu temennya Titi, si Maya.” Pandu menjelaskan pun rasanya percuma. Rey tidak begitu peduli pada lingkaran pertemanan sang ibu—sejak dulu.

“Hehehe, aku enggak kenal, Mas.” Rey cengengesan. Berusaha menyembunyikan rasa ingin tahu, tapi tidak bisa, sungguh tidak mudah. Ditatapnya Pandu sebagai bentuk lain dari kata-kata yang ingin ditanyakan, namun sulit keluar dari mulutnya.

𝐀𝐭𝐫𝐞𝐲𝐮Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang