Chapter 7. Mantan Yang Tidak Boleh Bahagia

26 2 2
                                    

Rey salah tingkah. Lebih parahnya lagi, seorang Rey merasa bersalah pada si mantan istri.

“Sin, enggak sengaja—maaf, aku enggak bermaksud kayak gitu. Aku cuma ... maafin aku, ya?”

Suara-suara bergetar Rey yang merasa bersalah, menyesal, gugup bahkan cemas, seperti dengung lebah di telinga Sindy sanking tidak percayanya dia akan sikap ‘orang lain’ yang melekat di diri mantan suaminya.

“Mas kenapa?” Malah itu yang ditanya. Sebab Sindy tahu betul, Rey nyaris tidak pernah minta maaf padanya, apalagi merasa bersalah.

“Enggak. Enggak kenapa-kenapa. Cuma panik aja karena kukira Raka ngilang.” Sadarlah Rey bahwa pernyataan maafnya barusan itu bagai angin lalu. Begitu pun dengan bentakannya tadi, sanking seringnya dulu dia menghardik Sindy sesuka hatinya. Sehingga jangan heran kalau sekarang si mantan istri tidak butuh ucapan maaf darinya, meski tulus dari hati sekalipun. Ter-bi-asa. Itulah jawabannya.

“Raka dari tadi sama Mas?”

“Iya. Mbak Titi nitip dia ke aku.”

Sindy langsung berpaling pada bocah tiga tahun di sisinya yang tidak melepas genggaman tangannya. “Raka mau jajan sekarang?”

“Iya!” Raka senyum lebar, bahkan tidak peduli meski Rey ada di situ bersama mereka.

“Ayok,” ajak Sindy, lalu mengisyaratkan pada Rey kalau dia akan menemani Raka.

Rey menyusul setelah Sindy memunggunginya. Pelan, berjarak. Sekali lagi, diperhatikannya punggung Sindy. Benar. Butuh sepersekian detik sampai dia sadar kalau itu Sindy Alsava. Wah! Ngeliat dari belakang gini, aku beneran enggak kenal kalo itu Sindy.

Sebegitu asingnya Sindy bagi Rey, padahal tiga tahun belakangan telah mereka lewatkan bersama. Menyia-nyiakan waktu yang tidak mungkin bisa diputar ulang kembali.

“Tante, aku mau naik itu!”

Suara setengah teriak penuh semangat Raka mengejutkan Rey. Cepat dilihat si bocah yang berlari melewatinya menuju area permainan anak.

Rey baru sadar kalau minimarket yang mereka datangi, punya ruang besar di sisi kanan khusus untuk permainan anak. Setidaknya cukup bagi kolam penuh bola, komedi putar, Toy Box dan Toy Store berada di sana.

“Tanya Om Rey dulu, ya?” Sindy menatap Rey.

“Ya, boleh.” Dan Rey setuju bukan tanpa sebab. Ada kursi tunggu di sudut ruang, berhadapan dengan komedi putar. Begitu Raka minta dilepas, Rey bisa mengajak Sindy menunggu bersama. Itu rencananya. Apalagi begitu mendengar kalau Raka berseru tentang keinginannya dilihat oleh Sindy saat menaiki komedi putar, lalu dipotret agar bisa dipamerkan ke ibunya yang pergi mengantar si kakak karyawisata.

“Kamu buru-buru?” Rey bertanya setelah Sindy selesai memotret Raka.

“Iya nih, Mas. Sebenarnya—”

“Tante Sindy! Liat aku! Liat!” Raka histeris begitu kuda kecil yang dinaikinya agak meninggi.

Sindy menghela napas bukan karena lelah, melainkan bersimpati pada Raka yang antusias khas bergembira anak seusianya.

“Iya, Tante Sindy lagi liat Raka, nih!” Sindy melambai-lambai. Seolah mereka terpisah jarak puluhan meter, padahal cuma delapan meter saja.

“Luka di telapak tangan kamu gimana?” Rey membuka obrolan, tapi sungguh bukan basa-basi.

Sindy mengepalkan tangannya yang sama sekali tidak lagi perih atau sakit, namun masih bersisa garis luka kering di sana. “Udah sembuh, Mas. Luka kecil kok.”

“Jadi, kamu beneran buru-buru, Sin?” Rey berusaha tenang, walau gelisah. Hanya rencana sederhana untuk menahan mantan istrinya pergi, namun rasanya seberdebar itu.

𝐀𝐭𝐫𝐞𝐲𝐮Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang