Chapter 14. Belum Bisa Menerima Kenyataan

16 1 5
                                    

“Mbak kenapa enggak bilang kalo bos-nya Sindy itu mas Bima?”

Sedang asik-asiknya senam lantai, Titi dikejutkan dengan tuduhan amukan dari adiknya. “Mbak juga baru tau.”

“Kenapa enggak langsung ngasih tau aku?”

“Waktunya enggak tepat.” Titi berbaring telentang di lantai, ngos-ngosan. “Lagian buat apa kamu tau?

“Buat apa? Kan aku ....” Rencananya, Rey tidak mau Titi tahu kalau sedang mengejar cinta mantan. Seperti apa pun akrabnya mereka, kerap berbagi cerita, kali ini dia menahan diri untuk tutup mulut. Karena apa? Karena Titi pasti melarangnya habis-habisan mendekati Sindy kembali.

“Mbak tau kamu mau deketin Sindy lagi. Apalagi berita soal pencarian jasad Jumantara udah diumumin.”

Benar. Tiga puluh lima menit sebelum jam pulang kantor, kala Rey sedang memantau HwM sambil menunggu Sindy pulang, berita pencarian  Jumantara diumumkan oleh pihak kepolisian.

Mereka berhasil menemukan jasad Jumantara di dasar sungai sedalam sepuluh meter, berjarak lima ratus meter dari lokasi jatuhnya mobil.

Mudah tertebak. Rey pun tidak pintar menyimpan rahasia dari Titi. Begitu jelas, sangat kentara.

“Stop, Rey. Yang dia mau bukan kamu. Sebelum perjuangan kamu makin jauh, makin berat, berhenti sekarang.”

Bagi Rey, Titi sedang membela Bima. Ada di pihak sang kakak tertua. “Jadi yang Sindy mau sekarang ini mas Bima? Gitu, Mbak?”

“Kalo soal itu, mana Mbak tau.”

“Kalo Mas Bima, Mbak cuek. Giliran aku, dicampuri terus.”

Sudah pasti Titi tersinggung mendengar tuduhan adiknya barusan. Daripada dibalas lebih sadis, baiknya diabaikan.

“Halo, Mbak? Mbak Titi!” Rey melihat kalau sambungan telepon sudah diakhiri oleh kakaknya. “Sialan!”

***

Keputusan Sindy yang tidak mau mendengar berita simpang siur dari berbagai media mengenai perkembangan kasus pencarian Jumantara atau masalah perselingkuhan suaminya itu, rupanya malah membuatnya melewatkan panggilan telepon dari kepolisian. Padahal cuma data seluler yang dimatikan, bisa-bisanya getar dari ponsel tidak terasa. Sanking terlalu seriusnya dia menyibukkan diri dengan pekerjaan.

Jadilah Sindy terlambat memenuhi panggilan. Namun tidak terlalu tertinggal lantaran Bima bertepatan keluar ruangan, saat dia juga berjalan tergesa di lorong.

Tidak ada tawaran, justru Sindy-lah yang meminta tolong pada Bima untuk diantarkan ke kantor polisi. Selain agar sampai lebih cepat, dia butuh ‘seseorang’ sebagai pendampingnya saat sesuatu yang tidak bisa dipastikan, harus dia hadapi sendirian di antara para pria berseragam sebagai aparatur negara dan pengusaha berkuasa yang dapat mengintimidasinya tanpa ampun.

Melalui telepon, polisi memberitahu Sindy kalau Irwan Cakrawala juga hadir di sana. Memang mungkin sudah begitu cara dunia bekerja. Saat melihat Bima keluar ruangan, di situlah dia merasa pertolongan datang. Setidaknya, Irwan tidak memandangnya sebelah mata. Ada Bima Harnanta—pria dewasa terhormat yang tidak kalah hebat dan cerdas dari orang-orang kepercayaan Irwan.

Benar. Saat di kantor polisi, Bima bahkan tidak membiarkan siapa pun orang-orangnya Irwan mendekati Sindy. Tidak terkecuali si pengusaha ternama itu sendiri. Bima cuma memberi tatapan, Irwan memilih enggan mendekat, setelah Airlangga memberitahu siapa pria yang berada di samping Sindy.

Segala urusan selesai. Begitu keduanya baru melangkah keluar dari kantor polisi, Sindy terhuyung, tepat ditangkap oleh Bima sebelum menyentuh tanah. Si mantan adik ipar tidak sadarkan diri.

𝐀𝐭𝐫𝐞𝐲𝐮Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang