Chapter 16. Nekat, Gila

17 1 3
                                    

Reaksi Sindy?

Pura-pura tidak mendengar. Langsung abai dengan bergerak meraih paper bag berisi pakaian ganti. Pemberian Bima. Setelah dipaksa olehnya, Bima baru mengaku kalau semua isi di dalam tas kertas itu dicari Bima sendirian di pusat perbelanjaan tidak jauh dari rumah sakit.

Bima bahkan buru-buru pamit pulang sebentar, sebelum Sindy sempat mengungkapkan kekagumannya pada si mantan kakak ipar yang tahu persis ukuran pakaian dalam yang biasa dikenakannya. Kok bisa? Sindy terus bertanya-tanya dalam hati sampai Rey datang merusak kegembiraannya.

Rey mengekori Sindy ke kamar mandi. Si mantan istri baru sadar setelah membuka pintu.

“Eh, Mas! Ngapain?”

“Bantuin kamu ganti baju.” Kaki Rey siap melangkah masuk, tapi Sindy cepat menutup pintu meski tertahan oleh satu kaki Rey yang masih di sana.

“Enggak perlu, Mas. Tanganku enggak sakit. Aku bisa sendiri.” Sindy melotot. Ditekannya pintu, namun kaki Rey lebih kuat.

“Walaupun tangan kamu enggak sakit, tapi badan kamu masih lemas.” Sekarang Rey sudah berhasil menguasai pintu.

Sindy mundur karena paper bag-nya terjatuh, tali pegangannya putus selagi dia sibuk menahan pintu.

Rey mengambil kesempatan saat Sindy memungut paper bag di lantai. Cepat tubuh tingginya masuk, lalu ditutup bahkan dikuncinya pintu kamar mandi.

Tahu kalau Sindy pasti akan berusaha keluar dari sana, sedari tadi Rey tidak berpindah dari belakang pintu. Menghadang agar si mantan istri tidak bisa ke mana-mana, apalagi membuka pintu yang telah dia kunci.

“Minggir, Mas.”

“Atau kamu bakal teriak?” tebak Rey. Malah bagus kalau dia dan Sindy ketahuan bersama di dalam kamar mandi. Soal dia yang nantinya akan ditindaklanjuti atas perbuatan tercelanya, biar jadi urusan belakangan.

Menghadapi Rey tidak lagi seperti dulu. Sindy selalu cuma perlu menunduk saat diteriaki, mengalah ketika dikasari lewat ucapan, tidak menjawab di kala Rey memarahinya, meski dia tidak bersalah.

Sekarang, Rey persis seperti pengganggu. Tingkahnya lebih dari aneh. Bagi Sindy, Rey makin menjadi-jadi. Entah pembalasan dendam seperti apa yang tengah dilancarkan si mantan suami.

“Ya udah kalo enggak mau keluar.” Sindy menurunkan celana pasiennya tanpa ragu, walau sebenarnya malu setengah mampus. “Tapi kamu harus balik badan, Mas. Enggak boleh liat-liat.”

Rey yang tadi tercengang melihat sikap menantang Sindy, sekarang malah terkekeh. Diturutinya Sindy karena biar bagaimana pun, dia sangat menghargai si mantan istri. Meski yang dipatuhinya bukan balik badan, melainkan memalingkan wajah ke arah lain.

“Jangan ngintip, Mas.” Sindy mengibaskan celana panjang pasien yang sepenuhnya sudah terlepas darinya.

“Aku udah pernah liat semuanya. Lebih dari yang bisa kuliat sekarang.”

“Justru karena Mas udah liat semuanya, aku jadi makin malu.” Sindy malah melepas baju sambil melotot menatap Rey. Jaga-jaga andai pria itu malah memandanginya berganti pakaian.

“Karena sekarang bukan suami istri lagi?” Rey meluruskan tatapan, membuat Sindy membeku.

“Mas!”

“Iya, iya. Aku enggak liat.” Rey kembali memalingkan wajah.

“Jadi yang tadi itu apa kalo bukan ngeliat?”

“Aku enggak sengaja. Tadi itu gerak spontan.”

Banyak alasan! “Mas seneng banget kayaknya, ya?” Maksud Sindy tentu sindiran terhadap Rey yang secara berlebihan terus menerus mengganggunya seolah tidak ada hari esok.

𝐀𝐭𝐫𝐞𝐲𝐮Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang