Chapter 28. Penasaran, 'kan?

9 1 4
                                    

“Lho? Udah pulang, Mas?” Raline terkejut karena kehadiran Rey di dapur. Rupanya si suami bohongannya itu singgah cuma buat segelas air.

“Hmm.” Cuma dehem sekilas, lalu pergi sambil membawa serta gelas berisi air.

“Tadi aku ketemu mbak Sindy lho, Mas.”

Jelas berhasil mempengaruhi Rey. Langkah terhenti, badan berbalik sepenuhnya. “Di mana? Dia lagi ngapain? Sama siapa?”

“Satu-satu, Mas.” Padahal hanya antusiasnya, tapi Raline tahu seterobsesi apa Rey terhadap si mantan. Dia bisa merasakannya.

Rey menunggu, Raline mencuci tangan karena amis bau ikan.

“Di pasar yang deket toko rotinya itu. Dia ya lagi belanja juga. Sendirian.” Sesuai pertanyaan, berurutan jawaban Raline.

Rey tidak puas. “Kalian sempet tatap muka? Ngobrol? Dia tanya aku? Terus, apa dia keliatan penasaran sama hubungan kita?”

“Satu-satu, Mas.” Raline tidak punya maksud buat mengusili Rey. Cuma ya memang pening mendengar rentetan pertanyaan Rey yang bicaranya terlalu cepat.

“Ya, kamu jawabnya satu-satu.” Tidak mau kalah adalah tabiat asli Rey. Dulu hanya pada Lula yang tidak, tapi kalau sekarang ya cuma terhadap Sindy. Pada Titi pun dia selalu mau menang sendiri.

“Gimana mau tatap muka? Dianya aja malah ngumpet, ngintipin aku sama Jingga dari jauh. Enggak terlalu jauh juga sih jaraknya. Pokoknya aku tau di ngintip.” Raline berjalan menuju meja dapur, mengambil lap kering untuk tangannya yang basah. “Enggak mungkin enggak, dia pasti penasaran.”

Rey mengernyit. “Kamu sengaja belanja di situ?”

Tersenyum lebar penuh arti, Raline angguk-angguk kepala. “Pas kita pulang tempo hari dari toko bunga itu, aku sempet liat ada pasarnya. Aku pikir, apa salahnya ke sana walau agak jauhan. Kan itung-itung kasih pemanasan buat mbak Sindy.”

Rey terdiam. Cerdik juga ni cewek. “Ya boleh. Lanjutkan.”

“Oh, iya! Info pentingnya terlewatkan!” seru Raline tiba-tiba. Baru ingat. “Mantan istri Mas kayaknya suka deh sama Jingga. Dia baik banget. Bahkan dia nolongin anak aku dari amukan penjual ikan. Malah dia juga bayarin ganti rugi ikan-ikan yang dilempar Jingga ke tanah.”

“Enggak mau cobain makanan buatanku dulu, Mas?”

Rey sudah balik badan langkah maju sewaktu Raline menawarinya. Cepat digelengkan kepala. “Enggak. Makasi.”

Raline terkekeh tanpa merasa kecewa sama sekali. Dia sadar dari dulu kalau makanan hasil buatan tangannya akan sangat mengerikan. Jika tidak keasinan, ya kemanisan. Giliran dia serius membubuhi garam dan gula secukupnya, malah rasanya hambar.

Kevin sering mengamuk karena masakan Raline dianggap tidak layak dikonsumsi oleh manusia. Selain mencak-mencak, sebenarnya suaminya Raline selalu takut kalau si istri membubuhi racun ke dalam makanannya. Kevin hanya tidak mengatakannya pada Raline, tapi pria itu sangat waspada setiap waktu.

Rey melihat Jingga sedang berusaha membuka pintu kamarnya. Pun baru sadar kalau banyak perabotannya pindah tempat. Terutama yang terbuat dari kaca. Semuanya sudah berada di lemari hias yang tidak mungkin bisa digapai oleh Jingga.

“Hayo ... ngapain?” Rey bergegas mendekat, mengangkat Jingga ke dalam pelukan. Mengendusi aroma minyak telon dan bedak yang harumnya menenangkan. Meski Raline terlihat agak abai pada Jingga, namun perempuan itu peduli pada kebersihan dan kesehatan tubuh Jingga.

“Mau masuk,” tunjuknya ke pintu.

“Enggak boleh.” Rey memberi larangan dengan halus, lembut.

“Papa boleh?”

𝐀𝐭𝐫𝐞𝐲𝐮Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang