Chapter 32. Cup Cup!

14 1 0
                                    

Seketika tak dapat berkonsentrasi, hilang keseimbangan, Rey yakin sedang diintimidasi oleh kakak tertuanya hanya lewat sebuah tatapan berdurasi sekitar semenit lamanya.

Saling tatap antara pria yang nyatanya sedarah adalah sesuatu yang berarti masalah.

Sampai-sampai kedatangan Sindy dan Raline yang melangkah beriringan mendekati mereka di sana, sama sekali tidak disadarinya.

Hening membuat canggung. Titi selaku yang seharusnya paling tahu membaca keadaan pun ikut-ikutan diam. Tidak heran, ada Bima di antara mereka. Sosok paling disegani yang auranya begitu kuat, tidak terbantahkan.

Raline masih panas dingin sebenarnya. Teringat kalau tadi baru saja lepas dari sesaknya pertanyaan yang harus punya sejuta jawaban berisi kebohongan. Dia wajib terbiasa mulai sekarang. Dipikir bagaimana pun, tetap saja berakhir menyenangkan baginya. Dia masih mau melakukan hal serupa demi Rey selama imbalan bisa dibicarakan.

Buttercup Bakery bukan tadi namanya, Mbak Sindy?” tanya Raline tiba-tiba. Jantungnya dag did dug juga kala tidak sengaja matanya dan Bima bertemu sedetik. Jangan salah. Bukannya dag dig dug ser, tapi dag dig dug nyes yang artinya dia merasakan perasaan ngeri karena takut.

“Iya,” angguk Sindy ceria. “Ayo, singgah ke sana, Raline. Bawa Jingga juga.”

“Oh, tentu. Jingga pasti suka.”

“Kenapa tadi dia enggak dibawa ke sini?” Titi akhirnya ikut terbawa suasana pembicaraan Raline dan Sindy yang kedengarannya tidak kaku.

“Nanti Mbak Titi sama yang lainnya kaget,” jawab Raline, bermaksud bercanda.

“Kaget kenapa? Anaknya Rey, ‘kan? Jelas kami harusnya seneng kalo kamu bawa dia ke sini. Aku malah ngiranya kalian bawa dia juga.” Titi serius. Antusias yang bisa disalahartikan.

Raline tidak mencari jawaban melalui Rey. Tidak perlu repot-repot menatap pria itu dengan raut bingung. “Kaget karena lasaknya luar biasa si Jingga itu, Mbak.” Di akhir disempatkan tertawa bertujuan memperjelas bahwa sedari awal dia memang cuma bercanda.

Titi-nya aja yang baperan. Kalo kalian di sini, pastikan kalian menilai ekspresi Titi tiap kali sudut matanya meneliti setiap pergerakan Raline. Apa adik ipar yang diakuinya cuma Sindy?

“Saya bisa minta salah satu keponakan atau sepupu saya di sini buat jemput anak kalian,” kata Bima tiba-tiba. Yang ditatapnya Rey, si adik bungsu yang tidak mencak silat ketika disinggung Titi seakan meragukan status Jingga, tapi malah tenang-tenang saja.

“Biar aku sendiri yang jemput.” Rey bukan menjawab kakaknya, melainkan memberitahu Raline sambil mengusap pipi si ‘istri’ sewajarnya. Maksudnya, dia enggak lebay kayak pasangan baru di depannya—Bima dan Sindy.

Rey berlalu begitu saja. Menyisakan mereka berempat, tapi bertetapan dengan langkah Rey sejauh sepuluh meter, dia berpapasan dengan Pandu dan anak-anak yang rupanya mencari Titi.

Sekarang, jadilah mereka sekawanan di pojok ruangan. Duduk membentuk lingkaran dengan meja bundar di tengah-tengah mereka. Segala sesuatunya tentang Harnanta dimulai di sini.

***

“Dari raut wajahnya aja keliatan baik, ramah, lucu gemesin mirip Jingga,” celetuk Sindy.

“Jadi, bintang lima nih, ratingnya?” Bima bukan tertarik pada siapa dan apa yang dibahas istrinya, melainkan cuma mau membalas antusias Sindy dengan segala ketulusannya.

“Iya. Karena Raline itu orangnya asik.” Ditanggapi suaminya dengan serius. “Rupanya memang masih muda, Mas.”

“Oh, ya? Kamu sama dia lumayan lama ya ngobrolnya?”

“He-eh. Masih dua puluh lima. Raline itu nyambung diajakin ngobrol, Mas. Makanya saya bilang asik orangnya.”

“Dua lima?” Bima agak kaget. Namun tetap biasa saja ekspresinya.

“Iya. Mungkin karena dia campuran kali, ya? Jadi keliatan agak dewasa dari umur aslinya.”

“Ya, bisa jadi.”

“Mas kenapa agak lain sama mas Rey?”

“Agak lain?” Bima memutar kemudi memasuki kawasan perumahannya.

“Iya. Atau mungkin sayanya aja yang belum terlalu paham membaca hubungan antara Mas sama adiknya Mas.”

“Ya dari dulu kami memang begitu. Mungkin selalu seperti itulah hubungan antara sesama saudara laki-laki,” tutur Bima santai, pelan.

“Iya juga sih, Mas. Sesama lelaki pasti agak gimana gitu. Tapi kan Mas, kenapa mbak Titi juga sikapnya sama?”

“Hahaha! Sama gimana? Agak lain juga maksudnya?”

Sindy mendekat ke arah Bima untuk memberi hadiah ciuman di bagian wajah mana saja yang bisa dicapai bibirnya dalam posisi ini.

Cup!

Cup!

Dua kali bertubi di tempat yang sama, pipi kiri.

Tertawa senang, ditatapnya si istri begitu mobilnya sengaja diberhentikan lama di depan pagar rumah mereka. “Kalo enggak capek kita lakuin, ya?”

Sindy angguk-angguk senang. “Sambil berendam.”

Bima mengiyakan dengan sekali anggukkan. “Pertanyaan di dalam pertanyaannya udah selesai, nih?” Sebab dia tidak mau membahas apa pun ketika sedang melakukan proses penyatuan.

“Oh, iya.” Sindy tertawa. “Belum. Jadi, kenapa Mbak Titi juga begitu? Saya tau mereka berdua menghormati Mas Bima sebagai kakak tertua, tapi entah di bagian mana, mereka keliatan agak lain sama Mas.”

Pertanyaan yang wajar. Banyak kerabat yang sering mengungkap secara pribadi bahwa Rey dan Titi merasa jauh dari kakak mereka sendiri. “Mereka menganggap saya lebih dari seorang kakak tertua. Kata Titi, saya-lah pengganti ayah. Kalo udah begitu anggapan mereka ke saya, enggak mudah lagi untuk mereka bersikap atau bicara seleluasa sebelum mereka menilai saya sebagai pengganti ayah.”

“Hmm, gitu. Saya ngenilainya mungkin juga karena Mas sering enggak hadir di mana ada momen kebersamaan yang tanpa Mas di antara mereka.”

Bima mengangguk, tersenyum. “Kalo itu emang iya. Saya akui saya bukan kakak yang baik buat mereka. Sering kali di acara keluarga besar gini saya enggak hadir, apalagi sekedar kumpul bareng tiap akhir pekan di rumahnya Titi. Jarang, jarang banget saya lakuin itu.”

Karena Bima kini sudah melepas kedua tangan dari kemudi dan mobil sudah terparkir dalam keadaan mesin mati di halaman rumah, Sindy bergerak hati-hati untuk mendekatkan diri dengan duduk di atas pangkuan suaminya.

Bima menunggu, menyambut dengan rasa senang. Dipeluknya erat seluruh tubuh Sindy.

“Saya bangga sama kamu, Mas.”

“Bangga?”

“Iyalah. Enggak perlu harus punya banyak pencapaian untuk bisa membuat bangga. Saya bangga sama suami saya yang luar biasa kayak Mas Bima.”

“Makasi, Sindy. Saya senang banget kamu merasa begitu ke saya.”

“Tapi emangnya Mas tau saya merasa bangga dalam hal apa sama Mas?” Sindy langsung cekikikan begitu melihat raut bersalah sekaligus bingung dari suaminya.

“Eh, iya juga. Kamu enggak bilang, jadi saya pikir mungkin itu masih berkaitan dengan sosok saya sebagai seorang kakak sekaligus kepala keluarga. Bukan begitu?”

“Bukan,” geleng Sindy. Bibirnya maju, digigit pelan dagu Bima.

“Bukan itu yang membuat kamu bangga?”

“Bukan. Semuanyaaa. Semua dalam diri Mas Bima itu membanggakan bagiku. Pokoknya gitu.” Karena malu bukan main ditatapi Bima tanpa berpaling dan sambil diberi senyum manis begitu, Sindy langsung menyembunyikan diri dalam pelukan Bima.

Dan Bima punya beribu cara membuat efek dari godaannya bertahan sampai besok pagi. Dibisikinya si istri. “Karena kamu bertingkah menggemaskan begini, saya mau makan kamu enggak cuma satu kali.”

𝐀𝐭𝐫𝐞𝐲𝐮Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang