Chapter 29. Cerita Penderitaannya

11 1 0
                                    

“Kevin ngambil kesempatan dengan buat perjanjian sama ayahnya. Dia minta warisan lebih banyak dari kakaknya yang mandul. Huft, capek ya Mas dengernya?” Raline hafal raut-raut Rey yang mulai malas mendengarkannya.

“Enggak, lanjutin aja. Ayo, lanjut.” Rey akhirnya duduk di kursi tamu. Pegal sudah kakinya berdiri. Jingga terlihat berlari ke sana kemari. Bagus memang Raline lebih dulu berinisiatif untuk memindahkan perabotan, sebelum ada yang hancur karena ulah Jingga.

“Kalo anaknya laki-laki. Kalo perempuan ya harta warisannya sebanding lah sama kakaknya. Tapi ayahnya Kevin tetap ngasih syarat tambahan. Kevin harus balik ke keluarganya. Ada pekerjaan besar yang katanya membutuhkan kerjasama seluruh anggota keluarga. Entah apa itu aku enggak tau. Kevin memang sering cerita soal keluarganya, tapi tetap ada yang disembunyiin dari aku.

“Pas ayahnya tau yang lahir perempuan, ya dia biasa aja sih. Aku nebak gitu, karena aku liat ekspresinya dia pas datang jengukin aku. Malah yang ngamuk si Kevin ini. Ngumpat segala macam, ngatain aku begini begitu karena yang lahir perempuan. Padahal dia juga yang larang aku USG. Entah apa yang dia rencanain aku enggak pernah tau. Dasar suami sialan.”

Rey langsung menoleh ke arah Jingga. Takut itu bocah mendengar ibunya mengumpat barusan. Tidak perlu takut rupanya, Jingga terlihat sedang berada di dunianya sendiri.

“Nah, dari situlah tabiat aslinya mulai keluar. Pertama-tama, dia masih nyerang aku lewat ucapan-ucapan kasar. Seolah nyalahin aku karena anak kami lahir perempuan. Terus, kelamaan dia makin merajalela. Main lempar atau banting barang.

“Terakhir ya pas setahun apa belum genap setahun umur Jingga, ya? Pokoknya gitu. Kevin mulai main tangan. Aku ingat banget dia nampar pipi aku kiri kanan untuk pertama kalinya.” Raline tampaknya mulai lelah, tapi mulutnya terus bicara.

“Waktu yang ketiga kalinya, di situ aku mulai ngelawan.”

“Oh, kamu ngelawan?” Rey kaget. Dikiranya Raline tidak punya keberanian untuk melawan seperti keberanian yang tidak dimiliki untuk melaporkan kekerasan yang terjadi dalam rumah tangganya.

Raline tertawa hampa menanggapi keterkejutan Rey. “Iya. Kalo dia jambak, aku jambak balik. Dia tendang, sekuat tenaga aku berusaha tendang juga, di tempat yang sama. Gitu terus sampe aku capek, pengen lapor, tapi malah kayak gitu kejadiannya.”

“Udah?” Melihat lawan bicaranya menghela napas berat seolah lelah begitu hebat, Rey ingin memutus obrolan mereka di sini saja.

“Udah kayaknya, Mas. Kalo Mas masih mau dengerin lagi, kapan pun nanti pasti bakal aku ceritain. Sekarang capek kan, Mas?” Raline hanya akan bersikap begini pada orang yang bersikap baik padanya, apalagi sampai membantu dengan sebegitunya. Yah, meski tidak gratis, tapi bagi Raline, misi yang harus dijalankan tidaklah sulit.

Rey tidak menjawab, malah melirik Jingga yang sedang naik ke sofa. “Dia mau nonton, tuh. Enggak mau tidur sore.”

Raline berjalan menuju ke tempat Jingga duduk dengan sangat manis, menatap layar televisi yang mati. Kedua kakinya diayun-ayun pertanda tidak sabaran, tapi dia tidak berucap apa pun, apalagi merengek. Gadis kecil yang manis.

“Nyaman banget kayaknya ni anak di rumah kamu, Mas.” Raline meletakkan remote di atas meja, senyumnya cerah ceria.

“Baguslah kalo gitu. Enggak akan ada tindak kekerasan di rumah ini, jadi tenang aja.”

Raline mengangguk senang. Inilah yang dia cari. Cinta tidak diperlukan, tempat ternyaman adalah hal paling utama dalam hidupnya. Prinsip Raline sudah bergeser sepenuhnya. Apa itu cinta? Taik kucing!

Bukannya menemani si bayi dua tahun, dia malah melangkah ke hadapan Rey. “Mas tenang aja. Aku bakal buat mbak Sindy cemburu, sampe dia pengen mukuli kepalaku pake sendal.”

𝐀𝐭𝐫𝐞𝐲𝐮Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang