Chapter 13. Tawaran Yang Mengancam

9 1 7
                                    

“Dia mau aku enggak membesar-besarkan masalah yang udah ada.” Sindy menarik selimut sampai sebatas dada, tubuhnya segera dibaringkan.

Julia ikut-ikutan. Melakukan persis seperti Sindy. “Mas Air ngancam kamu enggak?”

“Enggak. Kalo pun iya, aku enggak takut.” Serius, andai nada bicara si orang kepercayaan Irwan itu mengancamnya lebih parah dari sekedar rekaman percakapan mereka, Sindy siap melawan balik. Meski harus dalam gebrakan dan gerak lamban sekalipun. Keterbatasan yang dimilikinya sebagai orang awam tanpa kekuasaan tidak akan menyurutkan langkahnya mengambil tindakan balas balik.

“Bagus, Sin. Bagus!” Julia geram sekaligus bersemangat. Seakan dia yang punya dendam pribadi saat ini terhadap Airlangga dan Irwan. “Terus? Apalagi yang dia omongin, Sin?”

Sindy menggeleng. Memejam sedetik kedua matanya, lalu memiringkan tubuh jadi menghadap Julia yang sudah lebih dulu berada dalam posisi itu. “Enggak ada. Obrolan kami memang enggak lama. Aku sempat ketiduran sampe akhirnya kebangun karena gelisah sendiri.”

Melihat jam dinding, Julia pura-pura menguap. Udah hampir jam tiga. Dia enggak boleh kurang tidur. “Ya udah tidur, yuk?”

“Yuk. Besok aku udah harus masuk kerja. Kamu juga, ‘kan?”

Julia langsung melotot, duduk sambil menepuk kening. “Ya, ampun! Kan lupa,” lirihnya kesal.

“Kenapa lagi? Ngira besok minggu?” Sindy mengulum senyum.

“Bukan itu, Sin. Tapi aku beneran lupa kalo pak Bima nelpon tadi sebelum aku kemari.” Julia bahkan baru ingat sekarang akan keberadaan ponselnya.

“Oh, ya? Emangnya pak Bima bilang apa?”

“Pak Bima bilang, kamu enggak perlu masuk kantor dulu.”

Sindy mengernyit. “Lho kok gitu? Padahal besok hari pertama aku masuk kerja.”

“Ya memang gitu seharusnya. Kan kamu lagi ketimpa musibah, Sin. Pak Bima aja nyuruh kamu libur. Buat apa kamu masuk kerja?”

Sindy mengiyakan dengan anggukkan. Mengajak Julia tidur, sementara pikirannya berkelana entah ke mana.

***

Sindy sudah ada di kantor pagi-pagi sekali. Karyawan lain belum terlihat, selain penjaga keamanan. Memang dari dulu tidak berubah. Kebiasaan pekerja di sana selalu hadir lima atau sepuluh menit dari jam masuk. Tidak terkecuali Sindy.

Cuma kali ini yang berbeda. Bukan karena hari pertama kerja, melainkan akibat dari kegelisahan hatinya yang tidak tahu harus dibawa ke mana, mengantarkannya datang ke sini. Bahkan sekarang Julia masih tidur di kamarnya. Tidak dibangunkan oleh Sindy lantaran merasa bersalah menjadi penyebab Julia terbangun dini hari untuk menemaninya.

Tadi pun Sindy sengaja keluar lewat pintu samping supaya Rey yang terlelap di ruang tamu tidak terbangun.

Terlalu fokus memeriksa laci bawah sambil setengah membungkuk, Sindy tidak sadar siapa yang baru datang menghampirinya sampai-sampai orang itu mengetuk pelan mejanya meminta perhatian.

Sindy menoleh, terkejut, lalu tegak berdiri saat si bos kini ada di hadapannya.

Bima Harnanta, putra tertua Ratna yang sekarang tengah mengernyit menatap Sindy dengan keheranan. Namun pria itu menunggu si mantan adik ipar untuk menjelaskan padanya lebih dulu.

Dalam berbagai kesempatan kumpul keluarga besar Harnanta, Sindy tidak terlalu sering bertemu Bima. Kalau bertemu pun, Bima hanya akan basa-basi semenit sebelum akhirnya menyendiri di balkon sibuk dengan ponsel atau berada di antara para tetua kepala keluarga lain di Harnanta yang semuanya tentulah pria.

𝐀𝐭𝐫𝐞𝐲𝐮Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang