#33 BerLari dan berLAri

10 2 0
                                    

Kupandangani kedua bola mata Teo dengan muka serius, berharap ia akan mengatakan suatu hal yang paling ingin kudengar

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kupandangani kedua bola mata Teo dengan muka serius, berharap ia akan mengatakan suatu hal yang paling ingin kudengar.

"Coba kamu ingat-ingat dulu."

"Oh ya aku ingat. Kalau tidak salah waktu itu Key pernah cerita. Papanya membelikan mobil baru. Aku masih ingat betul. Pulang sekolah, Key datang ke rumah, memamerkan mobil sedan Honda Civic warna merah. Mobil yang bagus, baru, masih bau toko," kata Teo tersenyum kecil, melontar candaan. "Besoknya aku benar-benar kaget, mendapat kabar kalau dia di rumah sakit. Aku sempat menjenguknya bersama pacarku. Untungnya, dia tidak apa-apa, hanya lecet dan luka jahitan di pinggulnya. Saat akan pulang, aku mendengar cerita dari suster kalau mobil Key menabrak sepasang suami istri"

"awalnya dia tidak tahu kejadian sebenarnya, sampai dia meneleponku malam-malam. Sambil menangis ketakutan, Key bercerita kejadian naas itu. Ia bahkan sempat syok berat dan masuk rehabilitasi. Terakhir yang kutahu papanya mengirimnya ke luar negeri." Raut muka Teo terlihat serius ketika bercerita

"Dia kecelakaan?"

"Ya, menabrak orang."

"Siapa?"

"Katanya sih! Sepasang suami istri."

"Lalu, keluarganya?" tanyaku mengerutkan dahi, menyimak cerita Teo dengan seksama.

"Aku tidak tahu pasti. Key cuma sering bilang kalau dia bakal mencari anaknya sampai ketemu. Aku tidak begitu mengerti apa yang dia katakan. Apa mungkin anak dari orang yang dia tabrak?" alisnya bertaut mengerut. Terdiam sesaat kemudian melanjutkan bicara. "Mmm... Oh ya, Key sempat telepon saat dia masih di luar negeri. Dia bilang kalau papanya sudah menemukan gadis itu dan dia minta pada papanya supaya gadis itu bekerja di kantornya."

Bola mataku berputar bingung, mencoba mencerna setiap kalimat alur cerita Teo barusan. Menerka-nerka, memilah-milah, dan menyimpulkan sendiri. Coba mencari sebuah titik terang inti dari semuanya. Mendadak, aku tersentak tersadar, seperti ada yang berbisik mendesis di telingaku dan berkata, "Gadis itu kamu."

Syok! Benar-benar syok. Kedua tanganku gemetaran, dadaku seakan sesak, kesakitan. Detak nadiku berdenyut lebih kencang, pembuluh darahku seolah membeku di jantungku. Jadi selama ini Key, batinku merutuk.

Terdiam sebentar, mengambil napas dalam-dalam, mengembuskannya perlahan. "Teo, aku turun sini saja. Terima kasih sudah membantuku," gumamku lirih, hampir tak terdengar.

Teo menarik sebelah lenganku cepat. "Lea, mau ke mana? Tunggu Key di sini saja."

Aku melepas pegangannya dan tersenyum. "Bilang pada Key, 'tidak perlu menjemputku'. Aku baru ingat kalau ada janji. Aku pergi dulu. Terima kasih ya Teo." Kuselempangkan tasku ke pundak, bergegas keluar dari dalam mobil.

Aku berjalan sambil melamun. Seribu tanya bermunculan di benakku, batinku terguncang. Kesedihan dan kekecewaan menyelimuti perasaanku sekarang. Kuusap air mata yang sedianya menetes di pipi, menarik napas dalam-dalam sebelum mengambil langkah berbelok di sudut jalan. Tersadar mengambil jalan yang salah, semakin masuk ke dalam taman.

Tumit kakiku terasa sakit, sepertinya lecet karena sepatu hak tinggiku. Pandanganku mengedar awas, aku baru sadar kalau sudah berjalan terlalu jauh. Kuputuskan untuk duduk sebentar di bangku taman, kakiku sudah tidak tahan lagi untuk berjalan lebih jauh. Mendadak tengkukku meremang berdiri, menatap ke sekitar taman. Pepohonan yang rapat tumbuh menjulang di taman ini. Tidak ada orang di sini selain aku.

Tiba-tiba saja, tiga orang pemuda muncul mendekat ke arahku, "Hai, cantik." sapanya padaku tersenyum menyeringai lebar.

Kutolehkan pandanganku ke arah belakang, segera berdiri dari duduk, melangkah berjalan mundur perlahan. Pemuda yang menyapaku tubuhnya jangkung, berambut merah, mengenakan T-shirt gambar tengkorak, celana denim sobek lutut. 2 lagi lainnya, lelaki paruh baya berumur sekitar 35 tahun. Bertubuh besar berambut gondrong mengenakan jaket kulit warna hitam. Lelaki yang terakhir, bertubuh kekar mengenakan T-shirt warna hitam dengan tato tengkorak besar di lengannya yang terbuka. Wajahnya tampak garang, menakutkan, terdapat luka sayat di pelipis mata sebelah kiri.

Aku berjalan cepat menghindari mereka, bisa kudengar tawa terkekeh mereka di belakang punggungku.

"Hei, tunggu. Mau ke mana cantik." Pemuda itu memanggilku lagi.

Tanpa mempedulikan celotehnya, aku mulai berlari dengan kaki yang kesakitan. Berlari dan berlari, sebisa mungkin menjauh dari mereka. Tawa mereka semakin jelas terdengar di telinga. Gelombang ketakutan menyelimuti diri, tidak ada seseorang pun di sini yang bisa kumintai tolong, sepi tidak ada orang. Hanya pepohonan, tumbuhan dan rumput liar yang bergoyang tertiup angin malam.

Aku mendapati diriku menuju ke arah yang salah, tersudut di ujung pagar taman yang tinggi menjulang. Oh tidak! Aku tidak bisa lari dari sini. Aku terjebak, tersudut tak bisa melarikan diri. Kuberanikan diri, menoleh ke belakang. Astaga! Mereka sudah dekat. Aku mendapati kedua lelaki itu tengah berjalan terengah menghampiri, kurang lebih 10 meter dari tempatku berdiri. Pandanganku mengedar—mencari pegangan—sesuatu yang bisa dibuat untuk memukul. Batu. Ya, hanya ada batu dan kerikil kecil di sini. Tidak apa, setidaknya benda-benda kecil itu masih bisa menyelamatkanku.

Mereka tersenyum lebar, mendapatiku tersudut. "Mau ke mana lagi cantik," kata lelaki bertato itu mendekat. "Kami tidak akan menyakitimu."

Mendengar suara mereka membuatku bulu kudukku berdiri, menyeramkan. Tidak mungkin mereka tidak akan menyakitiku, sudah jelas terlihat dari sorot mata mereka yang picik dan kotor. Mereka, punya niat buruk padaku. Aku bersiap-siap untuk melempar batu dan berteriak sekencang-kencangnya. Siapa tahu ada yang tiba-tiba datang menolongku. Itu harapan besarku. Tapi, kenapa tiba-tiba suaraku mendadak hilang, tercekat di tenggorokan.

Oh Tuhan, tolonglah hambamu yang lemah ini, ucapku memohon dalam hati, memejamkan mata sejenak. Saat membuka mata, mereka bertiga berjalan mendekat berbarengan.

"Berhenti! Jangan mendekat. Aku bilang jangan mendekat," teriakku berlagak sok galak, nyaris terdengar seperti lolongan ketakutan. Aku memasang kuda-kuda, kedua kaki terbuka dengan berat badan menumpu pada kedua kaki, berusaha mengingat jurus beladiri yang sering kutonton di televisi.

Muncul sebuah suara kecil dalam benakku, "Jurus paling ampuh, tendangan ke area vital."

Sedikit membantu, membuatku lebih berani. Aku tidak takut menghadapi preman-preman macam mereka, toh kami juga sama-sama manusia, pasti punya kelemahan. Keberanianku muncul seketika itu juga, kulempar beberapa batu yang sedari tadi kugenggam. Membuat mereka bertiga menghindar dari seranganku. Aku tak peduli ke mana arah lemparanku, semoga saja tepat mengenai mereka semua.

Tiba-tiba saja, salah seorang dari mereka terjungkal ke depan. Seseorang telah menendang punggungnya keras dari arah belakang. Si jangkung, coba untuk melawan serangan orang itu, tapi dia malah terjerebab, tersungkur ke tanah. Tinggal seorang yang masih berdiri tegak, menatap nanar, menoleh pada orang yang sudah menghabisi kedua temannya, siap melayangkan bogem mentahnya. Mereka berdua saling pukul dan menendang, tidak ada yang terlihat menyerah dari keduanya. Aku berdiri terpaku, ketakutan, menyaksikan berkelahian yang terjadi di depan mataku, meski mataku tak bisa menatap jelas (samar), tidak ada pencahayaan lampu taman di tempatku berdiri.

Seseorang tiba-tiba datang membantu, mengatasi dua orang lainnya yang bergerak berdiri, hendak menyerang balas orang itu, sampai terdengar suara teriakan. Teriakan kesakitan.

"KEY! AWAS!!!"

Aku tersentak kaget mendengar seseorang dari mereka berteriak keras.

S I KTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang