Sepulang dari pantai waktu itu Fendi jadi lengket (nempel kayak perangko), ke mana-mana selalu minta ditemani. Makan minta bareng, nonton TV, belanja, dan banyak lagi maunya (bikin gerah). Seolah-olah kembali ke masa lalu, hubungan tanpa status. Sekarang makin parah, terkadang tanpa malu Fendi sering menggoda bahkan mencuri ciuman dariku, meskipun sudah kucoba mengambil sikap (memberi jarak) padanya. Ia seolah tak peduli, secara terang-terangan menunjukkan perasaannya padaku.
Minggu malam, pukul 18.30, seharian ini aku hanya di rumah, mulai dari pagi sampai sekarang. Sedikit membuatku bosan, bosan setengah mati. Di luar rumah, hujan turun sangat deras bersamaan dengan petir yang menyambar-nyambar. Aku sedang menyeduh teh di dapur, tiba-tiba saja.
"DOR!!!"
E-copot! Fendi, tiba-tiba muncul dari belakang, meleletkan lidah di depanku.
"Baru pulang?" tanyaku basa-basi.
"Garing. Nggak kaget. Hmm ... harum, buatin dong!" pintanya manja.
"Ogah. Buat saja sendiri," elakku menolak, membawa gelas berjalan melewatinya.
Kedua bola mataku membelalak kaget ketika Fendi merentangkan kedua tangannya, menghadangku, kemudian mengambil gelas teh dari tanganku, meletakkannya di atas meja. Aku bergerak mundur ketika Fendi berusaha mendekat. Tersudut di tembok, mataku menatap dengan hati berdebar saat Fendi perlahan mensejajarkan pandangan denganku.
Iris matanya menatapku serius. "Aku mau bicara!"
Ada apa ini? Batinku dalam hati.
"Bicara saja."
"Aku butuh jawaban, sekarang?" mata elangnya memandang tajam.
"Jawaban apa?" tanyaku dengan ekspresi bingung.
"Yaya, aku, aku sudah menahan diri sebisaku. Tapi aku tak sanggup," ujarnya menggeleng pelan, raut mukanya berubah murung.
Ia mendekat perlahan, memaksaku berjalan mundur, hingga menghimpitku ke dinding.
"Kamu mau ngapain?" kedua bola mataku menatap cemas.
"Yaya, tinggalkan Key, kembalilah padaku. Aku tahu dia tidak mengharapkanmu."
Aku dan Fendi terdiam dalam hening, kedua bola mata kami saling bertemu tegang. Lengannya yang kekar memenjarakanku dalam kekangan. Bingung, tidak tahu harus bilang apa.
"Fen, aku sudah menikah," ujarku menegaskan bahwa statusku bukanlah wanita lajang, melainkan istri orang.
Tanpa permisi Fendi menangkup wajahku dengan kedua tangannya, menarik, dan menciumku dengan kasar.
Kedua lengannya semakin melingkar ketat di pinggangku. "Fen! Lepasin! Lepasin!" teriakku berontak.
"Aku tahu kamu masih sayang sama aku," tuturnya yakin. Merajamku dengan tatapan matanya yang tajam.
KAMU SEDANG MEMBACA
S I K
RomanceCerita ini berawal dari pertemuan tidak menyenangkan Vilea dengan seorang lelaki bermulut kasar di salah satu fastfood yang berujung pada perjodohan. Key, putra pemilik perusahaan tempatnya bekerja adalah calon suaminya. Asal tahu saja! Kehidupan se...