#37 TuSuKAn TAJAM

12 2 0
                                    

Perasaanku seolah tak sanggup terbendung lagi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Perasaanku seolah tak sanggup terbendung lagi. Ragaku rindu, rindu memeluk tubuh mungilnya, sampai-sampai terbawa mimpi semalam. Bibirku tak henti tersenyum, mulai dari keberangkatan pesawat hingga di dalam taksi menuju ke rumah. Sialnya aku harus menelan pil pahit ketika tak menemukan keberadaan istriku di rumah. Kurang ajar, dia pasti bersama sepupu tercintaku, Fendi. Gigiku gemeretuk marah saat mendengar suara mesin penjawab telepon, mereka berdua sengaja mematikan ponselnya. Seharian, aku di rumah kelimpungan sendiri, menelepon ke sana kemari, menghubungi Tyas, dan Teo, bahkan Bu Firda, menanyakan keberadaan Vilea sekarang. Namun, tidak ada satu pun dari mereka yang tahu keberadaan kedua makhluk itu. Kuhela napas panjang, kuputuskan untuk menahan emosi yang sudah terlanjur di ubun-ubun, tak ingin menimbulkan masalah.

Alamat kontrakan Fendi sudah di tangan, tapi nyatanya saat mobilku berhenti di depan rumah Fendi, rumahnya tampak sepi. Hampir setengah hari aku memarkirkan mobilku di depan rumahnya, menunggu kebosanan dalam mobil. Hujan mulai turun deras saat aku berada di toko dekat kontrakan Fendi membeli air minum. Saat kembali itulah kulihat lampu ruang tamunya menyala terang, pertanda si empunya rumah berada di dalamnya. Dengan tidak sabar aku menelepon ponsel Vilea. Tidak diangkat, aku meneleponnya lagi, dan lagi. Nada sambung berdering lama, membuat darahku seakan naik ke ubun-ubun. Tanpa mempedulikan sekitar, di antara derasnya hujan—aku turun dari dalam mobil—berteriak memanggil namanya—aku tahu istriku ada di dalam. Semakin bertambah kesal saat tak seorang pun yang keluar dari dalam rumah. Namun penantianku tak sia-sia, beberapa menit kemudian aku melihat seorang wanita berjalan keluar dari balik pintu. Tak bisa kubayangkan apa yang bakal kulakukan kalau saja istriku benar-benar tidak keluar dari rumah itu, mungkin aku akan mendobrak paksa, bahkan menyeretnya keluar, seperti dalam adegan sinetron di televisi.

Itu yang pertama, yang kedua, aku mendapati istriku di rumah sepupuku lagi saat kepulanganku dari rumah sakit. Hanya saja ... aku tak sanggup untuk marah, kondisi Vilea waktu itu sedang sakit. Dan semua karena kesalahanku, aku pergi tanpa pamit, membuatnya marah, dan kesal. Dalam hati aku merutuk diri, berpikir lebih keras, sampai kapan aku akan hidup dalam bayang-bayang Stecya.

****

Semua terjadi tak sesuai harapanku. Dua hari lalu, Stecya tiba-tiba datang menorobos masuk ke dalam kantorku. Kutegaskan sekali lagi padanya, aku sudah menikah, tapi dia seolah tak peduli. Stecya berusaha melicutiku, walaupun secara tegas aku menolak—tak punya cara lain—memanggil satpam untuk membawa Stecya secara diam-diam, menyekapnya di salah satu kamar hotel jauh dari kantor. Dan ... cara terakhir, menelepon Juna.

Kabar buruknya, ada yang sengaja memancing perkara. Foto Stecya menciumku tersebar melesat cepat ke dunia maya, menjadi trending topik sepekan. Asal tau saja, aku sendiri turun tangan menghentikan. Seorang wartawan sewaan sengaja membuat artikel itu dan orang yang menyewanya adalah Stecya.

Perkiraanku meleset—papa akhirnya tahu—meskipun aku sudah menyewa seorang haker demi meretas alamat yang memuat berita itu.

"Apa-apan ini! Memalukan." Suara papa yang berat menggema sampai keluar ruangan. Aku tertunduk dalam tak sanggup membantah. "Kamu lupa? Kamu sudah menikah. Dan itu Lea."

"Papa biar kujelaskan."

"Kamu lupa ya! Kejadian waktu itu. Kamu telepon Papa sambil nangis ketakutan. Kamu ingat tidak!" bentak Papa emosi.

"Papa hentikan," pekikku menutup kedua telinga.

Sekelebat bayangan kelam masa lalu muncul di kepala. Gendang telingaku berdenging mendengung, kepala mendadak pening.

"Urus urusanmu sendiri. Papa tidak sudi menolongmu." Kedua mata tuanya mendelik sinis. Melempar selembar kertas ke depan mukaku, kemudian membalikkan badan pergi.

"Tok ... tok ..." seseorang mengetuk pintu, masuk ke dalam tanpa suara.

"Kamu ngapain di sini!" bentakku kasar.

"Kamu tidak pulang?" dia bertanya dengan wajah hati-hati.

"Tidak! Pulang sendiri sana!" teriakku mengusirnya dengan kasar.

"Hei! Jangan lihat!" kusambar kertas itu dari tangannya. Aku tidak mau menambah masalah lagi. Terlambat, Vilea sudah lebih dulu melihatnya.

"Foto kapan ini?" tanya Vilea dengan nada ketus.

"Itu, itu, cuma_" ucapku gugup.

"Jadi benar," sentaknya benar-benar marah.

Aku spontan berdiri, menarik kedua pundaknya. "Tidak. Jangan salah paham. Dia ke sini, memaksaku. Aku menolaknya. Lea, percayalah. Tidak ada apa-apa," kataku berusaha meyakinkan.

"Key, sudah, cukup. Aku jenuh." Vilea berbalik dan berlari, sepertinya dia menangis.

Kuhela napas panjang, mengatur perasaan yang campur aduk. Kesal karena kelakuan Stecya, bersalah pada papa dan Vilea. Berikutnya ... aku tersadar, mengejar Vilea. Kaget! Saat kulihat kerumunan orang tengah berkumpul di depan pintu lift. Seorang wanita pingsan, mataku membelalak penuh, menyadari sosok yang tergeletak di sana. Istriku. Serta merta aku meraih tubuhnya, mendekap erat, melarikannya ke klinik dekat kantor.

Hatiku tak tenang, takut terjadi apa-apa pada Vilea. Untung saja, dokter bilang dia hanya stres, terlalu banyak pikiran. Ya, semua salahku, aku yakin 100% akulah penyebabnya, tapi .... sedikit pun aku tak berniat untuk menyakiti hatinya, sampai kejadian nahas ini terjadi.

Lima belas menit sebelum kejadian ...

Kakiku menginjak pegal gas dalam-dalam hingga menimbulkan suara decitan mobil yang meraung-raung. Kedua tanganku dengan cepat memutar kendali kemudi, berbalik arah kembali menuju klinik.

"Key, kembalikan handphone-ku!" percakapan di telepon berakhir singkat.

Sudah kuduga, Vilea akan kembali ke klinik untuk mencari ponselnya yang sengaja kubawa. Tak hanya itu, Teo mengabariku kalau Vilea memaksa turun dari mobil, dan berjalan keluar dengan marah.

"Aku melihatnya berjalan ke sana," ucap Teo menunjuk ke arah taman saat mobilku berhenti di depan mobilnya dan aku turun dari mobil dengan terburu-buru.

Berlari, kakiku berlari panik menuju taman menyusuri jalanan trotoar, melewati padatnya manusia-manusia pejalan kaki. Masih berlari, berlari, dan berlari, mencarinya di sekitar taman. Bodoh, aku memang bodoh, membiarkan istriku berjalan sendirian malam-malam. Pandanganku mengedar cepat, menatap ke seribu arah. Sayup-sayup terdengar suara seorang wanita menjerit, semakin kupercepat lariku menghampiri suara itu. Tampak tiga orang pria bertubuh besar berdiri melingkar, mengepung seseorang di ujung pagar taman. Firasatku berkata, "Jangan-jangan itu Vilea."

Kuambil ancang-ancang, mengeluarkan jurus karate yang pernah kupelajari di sasana kampus, menendang salah satu pria berdiri paling tengah. Untung saja Teo datang tepat waktu, dia membantuku menghajar para pria bermuka iblis. Kami berdua berhasil menghabisi mereka sampai babak belur. Tanpa kusadari seseorang dari mereka menusuk bagian pinggangku dengan belati. Darah mengalir lambat-lambat, kurasakan perih dan sakit yang sangat. Keringat dingin menetes perlahan di pelipis, kepalaku pening seketika itu juga.

"KEY ...!" suara itu memanggil namaku histeris.



S I KTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang