#3 HUJAN! Bantu AKU Mengenalnya

211 32 18
                                    

 denting hujan yang turun membasahi jiwa kering kerontang tak bertuan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

... denting hujan yang turun membasahi jiwa kering kerontang tak bertuan. Hati yang meluap, menggenang tumpah tak terbendung lagi ...

Bintang terang di langit subuh bergulir perlahan seiring bergantinya pagi. Garis cakrawala timur mengijinkan sang mentari bersinar cerah, karya lukis sempurna tiada tara Anugerah Sang Maha Kuasa. Gerombolan awan putih berombak bergumul menoreh langit.

Siapa sangka jika sore hari tiba-tiba langit berubah mendung. Awan tebal gelap pekat meneteskan seribu ember air hujan mengguyur deras. Kepanikanku memuncak seketika teringat salah satu pepatah lama 'sedia payung sebelum hujan'. Kalian pasti tahu alasannya. Tentu saja, aku tidak membawa payung hari ini. Waduh! Bisa pulang basah kuyup nih!

Jam pulang sudah lewat 10 menit yang lalu, namun aku masih enggan untuk segera pulang. Kulangkahkan kaki menuju teras balkon yang berada di sudut ruangan kantor. Hmm... khas bau hujan. Kuhirup dalam-dalam aroma tanah basah yang lembab. Damai, suasana kala hujan selalu bisa membuatku merasa tenang. Embusan angin dingin merasuk, menembus lambat-lambat ke dalam rongga paru-paruku. Kusilangkan kedua tangan bersendekap, menikmati rintikan air yang berjatuhan. Sendu kala hujan.

Tiba-tiba pandanganku dikejutkan oleh sesosok makhluk yang tengah berdiri tepat 2 meter di samping kiri balkon tempatku berdiri. Kepalanya menengadah, memandang ke atas langit, membiarkan rintik hujan membasahi raut mukanya. Tapi, tunggu! Ada yang berbeda dari sorot matanya. Meski dari jauh, aku masih bisa melihat samar, iris mata monolid itu perlahan memerah sembab. Tampak murung, mirip orang yang sedang menangis. Kupicingkan mata, menatap lebih seksama di antara derasnya hujan. Dari penampilannya, semakin lama ditelisik sepertinya aku mengenal betul siapa orang itu. Mukanya sama persis dengan lelaki yang sering bertemu denganku akhir-akhir ini. Iya benar, itu dia.

Habis putus kali sama pacarnya, sampai nangis segala, batinku menerka-nerka, tersenyum geli dalam hati. Sudut mataku seolah enggan berpaling, sedianya menatap lelaki itu mengusap bulir-bulir air mata yang bercampur dengan rintik air hujan. Sedetik kemudian muncul tanya dalam hati kecilku, masa iya dia kerja di kantorku? Kalau iya, berarti sekantor dong! Bisa jadi.

Saat itu juga, kedua bola mata kami saling bersiborok. Dia menatap ke arahku mencari-cari di antara geremicik hujan yang turun, menggosok matanya pelan, mungkin pandangannya buram terkena air hujan.

Detik berikutnya, tampaknya dia menyadari keberadaanku (siapa yang ditatapnya sekarang). Tidak bilang apa-apa, malah memalingkan muka culas, berlalu pergi. Bagaimana tidak dongkol coba? Sombong banget. Cuih! Dasar somsek!

Kuhentak-hentakkan kaki marah, kembali ke dalam ruangan. Pandanganku mengedar, sunyi senyap, tidak ada lagi satu manusia pun di dalam ruangan, kecuali aku. Waktu berjalan begitu cepat, kupandangi kaca jendela yang mulai gelap. Sudah hampir malam, aku masih terpaku di sini menunggu redanya hujan. Membolak-balikkan ponsel dalam genggaman. Kosong, tidak ada satu pun panggilan, dan pesan masuk. Huft!

S I KTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang