#22 JeOl¤Us

54 20 5
                                    

Langkah kaki ini bergerak cepat menuju dapur, kulihat tante tengah sibuk menyiapkan sarapan sendirian. Mencicipi kuah yang berada di dalam panci, menaruh gorengan tempe hangat di atas piring saji.

"Pagi Tante, ada yang bisa kubantu?"

"Tidak ada, sudah selesai kok! Tolong bangunkan Fendi saja. Dia paling susah kalau dibangunin," gerutu Tante Fena tersenyum menatapku.

Tanpa pikir panjang aku bergegas menuju kamar Fendi, mengetuk pintu beberapa kali. "Fen. Fendi... sudah bangun belum?" teriakku memanggil namanya dari balik pintu. Tidak ada jawaban pasti yang keluar dari dalam kamar, "Ayo bangun! Disuruh Mamamu sarapan,"

Terpaksa, aku harus masuk dan membangunkannya sendiri. Pelan-pelan kubuka pintu kamarnya yang tak terkunci, mendapati Fendi masih tertidur dengan posisi tengkurap, satu kakinya telentang di pinggir kasur tanpa selimut. Samar terdengar suara dengkuran halus.

Kucoba mendekat, membungkuk di pinggir tempat tidur, menatap wajah gantengnya sembari menyunggingkan senyum. "Fen, bangun! Ayo sarapan," seruku di telinganya jahil, tapi dia bergeming. "Fen. bangun! Bangun, bangun, bangun..." kugoncang-goncangkan lengannya gemas.

Kelopak matanya terbuka sejenak, membalikkan badan memeluk guling. "Sebentar, aku masih ngantuk. Hng!" suaranya terdengar parau, suara khas bangun tidur.

"Bangun! Fen... sudah siang. Ayo bangun!" seruku dengan intonasi suara paling cempreng.

Dalam sekejap ia menarik lenganku, tubuhnya berguling menindihku, menarikku cepat ke dalam dekapannya.

Aku panik. "Fen, ngapain?" kudorong dadanya dengan kedua belah tanganku.

"Siapa suruh bangunin macan tidur," balasnya menggodaku jahil. Matanya yang sembab menatapku penuh senyum. "Seperti mimpi. Kamu, ada di depanku sekarang."

Kucubit ujung hidungnya gemas. "Ya, cuma mimpi. Tidur saja lagi."

Sebuah senyum melengkung dari bibirnya, terlalu ganteng. Kupejamkan kedua mataku ketika wajahnya pelan-pelan mendekat, mengecup kelopak mataku bergantian. Saat itu juga aku terpaksa harus menahan detak jantungku yang berdendang riang ketika ujung bibirnya hampir saja menyentuh bibirku.

"FENDI! SYA! SARAPAN DULU!!!" teriakan Tante Fena terdengar membahana.

Kami tersentak, menoleh ke arah pintu bersamaan. Kudorong dadanya cepat. Sialnya, Fendi lebih dulu mencuri ciuman dariku sebelum berlari keluar kamar. Nih cowok benar-benar!

Selesai sarapan rencananya langsung pulang, tapi batal, karena Tante Fena dan Om Deni mengajak kami jalan-jalan. Berkelana dari satu toko ke toko yang lain, sampai betis kakiku pegal, kesemutan. Aku baru tahu kalau Tante Fena betul-betul shopaholic. Dia memborong banyak model baju, tas, dan sepatu "branded". Saking banyaknya tas belanjaan, sampai tidak muat masuk ke dalam bagasi mobil. Om Deni hanya bisa geleng-geleng kepala melihat tingkah laku istri tercintanya.

Kami baru sampai di stasiun ketika langit mendung tebal bergumul lebat, petir menyambar-nyampar tak tentu arah. Kereta yang kami tumpangi baru saja berangkat, meninggalkan stasiun, dan kenangan manis yang sengaja ditinggalkan.

Hujan turun semakin deras, udara dingin merembes masuk dari balik kaca jendela taksi yang sedikit terbuka. Kutoleh wajah pria yang tertidur pulas di sampingku. Sepertinya dia capai, seharian berjalan ke sana kemari. Butuh waktu 4 jam 27 menit perjalanan dari stasiun Semarang ke stasiun Surabaya. Herannya, aku malah ingin lebih lama bersamanya.


Taksi yang kami tumpangi berhenti di depan sebuah rumah. Rumah kecil dengan desain minimalis, sepi, lampu ruang tamunya tampak padam. Sepeda motor berwarna hitam terparkir di halaman rumah tak beratap, basah telanjang terkena air hujan. Kami berdua masuk ke dalam rumah, Fendi membantuku membawakan tas travelku.

S I KTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang