#13 Dia TiDak BeruBah

11 1 0
                                    

Menatap sebelah bantal, hmm

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Menatap sebelah bantal, hmm ... aromanya, wangi khas tubuhnya masih melekat di dalam kamar ini. Sepi, jujur aku merasa kesepian, sangat kesepian. Aku masih enggan untuk bangun, masih ingin bermalas-malasan di atas tempat tidur. Seandainya saja hari ini libur, aku ingin ke pantai merasakan hangatnya angin pantai, sudah lama tidak ke pantai. Kulirik jam dinding, pukul 6 pagi, masih terlalu pagi untuk mengeluh.

Selesai membereskan kasur dan selimut bekas pakai semalam, aku menggulung rambutku ke atas, kemudian pergi mandi. Kusambar handuk yang tergantung di depan kamar mandi, kamar ini ada kamar mandi dalam, jadi tidak perlu keluar kamar untuk mandi.

Hari ini aku mengenakan blus lengan panjang warna coklat yang kupadukan dengan celana panjang hitam. Membiarkan rambutku tergerai lepas sepinggang, ya, aku belum sempat memotong rambutku. Harus pergi ke salon nih!

Aku berjalan turun ke lantai bawah, langkahku terhenti tatkala mendapati sosok tinggi tegap tengah berdiri menyunggingkan senyuman padaku. Well, aku masih belum terbiasa dengan kehadiran makhluk yang satu ini. Menatap wajahnya membuat dadaku berdebar-debar.

"Selamat pagi, Yaya," sapanya sok ramah.

"Panggil namaku dengan benar," bentakku dengan nada tak bersahabat.

"Galaknya," balasnya mengeluh.

"Kamu mau ke mana? Rapi banget?" tanyaku melihat penampilannya yang tidak biasa, kemeja putih lengan panjang dengan celana slim fit warna hitam.

"Aku, kerja."

"Kerja di mana?"

"Polisi. Memang Key tidak pernah cerita?"

"Serius! Kamu ..." sindirku dengan pandangan tak percaya.

"Kenapa? Nggak percaya?" Ia merogoh saku, kemudian menunjukkan kartu tanda anggota kepolisian miliknya. "Nih!"

"Iya, iya. Aku percaya. Aku berangkat dulu ya," pamitku buru-buru pergi.

Fendi menarik pergelangan tanganku cepat. "Eits! Tunggu. Kita berangkat sama-sama."

"Aku bisa berangkat sendiri," tolakku bersikeras.

Tak peduli ucapanku, dia malah menyeretku paksa mengikuti langkahnya. Fiuh! Aku mendesah berat, bermonolog membatin, sifat mereka berdua hampir sama, suka memaksa. Fendi mengambil kunci di gantungan dekat pintu, sepertinya dia hapal betul letak benda-benda di dalam rumah ini.

Mobil Porsche merah menyala milik Key melaju melintas dengan tenang. Lalu lintas pagi ini tidak begitu padat, sepertinya aku bisa sampai ke kantor lebih awal.

Fendi berdeham pelan memulai bicara, "Kapan suamimu pulang?"

"Tidak tahu," jawabku sinis.

"Kok bisa? Memangnya Key nggak bilang?" ujarnya bertanya sembari menatapku.

"Tidak tahu, tidak tahu, tidak tahu," kataku berulang-ulang, sewot.

"Kalian berantem?"

"Enggak."

"Terus ..."

Telapak tanganku mendorong pipinya pelan, membuatnya kembali menatap ke arah jalan. "Terus lihat depan. Tidak usah banyak tanya."

"Iya, nyonya besar."

Kucubit bibirnya gemas, sebagai reaksi kesal mendengar mulut comelnya, selanjutnya kutarik tanganku saat ia hendak meraih tanganku.

Tiba di depan kantor, aku segera turun dari mobil, berlarian masuk ke dalam tanpa menghiraukan Fendi yang melongo melihat kelakuanku yang terburu-buru. Aku cuma tidak mau teman sekantor melihatku dan bertanya macam-macam. Say No to Gossip.

Waktunya pulang, mataku panik saat melirik jam dinding. Aku lupa! Aku tidak tahu nomor handphone Fendi, lalu bagaimana aku pulang?

"Lea, nggak pulang?"

"Nunggu dijemput," jawabku spontan tanpa melihat ke arah Atma.

"Dijemput! Siapa? Pacar?"

Sontak mendongak, menatap matanya lurus. "E-enggak, sepupu," ujarku tersenyum palsu, membuat sebuah alasan.

"Sepupu?" tanya Atma menggelengkan kepala pelan.

Aku tersadar, tidak mungkin aku punya sepupu. "Mmm... sepupunya temanku."

"Ooh ... sepupunya temenmu," ujarnya mengulang ucapku, "oke, aku pulang duluan."

"Oke! Ati-ati," kataku menyunggingkan senyum.

Beberapa menit kemudian, kurapikan berkas-berkas yang berserakan di atas meja, mengambil ponsel, dan menjinjing tasku, lalu berjalan keluar dari ruangan.

Senja kala ini menggores memerah keemasan di atas kanvas langit. Aku berdiri menunggu, mengedarkan pandangan ke jalan raya yang riuh ramai. Ke mana dia? Aku jadi ragu untuk menunggu lebih lama. Iya kalau dia menjemputku, kalau tidak. Keraguanku luntur saat ekor mataku mendapati mobil Porsche merah menyala melaju pelan di depanku. Mobil suamiku, pasti FENDI.

Benar saja, pintu mobil terbuka lebar. "Lea, ayo!" teriaknya dari dalam mobil.

Tak segera masuk, aku malah menoleh ke kanan dan ke kiri, setelah mengira keadaan cukup aman dengan segera aku memasukkan diri ke dalam mobil.

"Kenapa? Kok kelihatan bingung," tanya Fendi membuka pembicaraan, sesaat setelah pantatku mendarat dengan aman, duduk di sebelahnya. "Nunggu temanmu?"

"Tidak. Tidak ada."

"Benar tidak ada apa-apa."

"Tidak ada, banyak tanya deh!" ucapku dengan nada sewot.

"Kenapa? Ada yang ngikutin," ujarnya bertanya lagi, kali ini matanya menatap menyelidik. "Kalau ada yang ngikutin bilang. Biar aku_"

Aku menatapnya sinis, menyela bicara, "Aku cuma tidak mau ada gosip."

"Mmm, mereka tahu tidak kalau kamu menantunya Om?"

"Ya tidak lah," jawabku ketus

"Kok bisa?" tanya Fendi menyipitkan mata, curiga.

"Bawel." Bibirku mengerucut kecut.

Fendi tertawa terbahak. "Cute banget sih!" ucapnya mencubit pipiku gemas.

"Fen, sakit." Kuelus pipiku, sakit.

"Makan yuk!" ajaknya bersemangat.

"Habis makan terus pulang," kataku menambahkan.

Kukeringkan rambutku dengan handuk kecil, aku langsung pergi mandi setelah setengah jam lalu kami baru saja tiba di rumah. Kuambil ponsel, duduk di pinggiran tempat tidur, menyisir rambutku dengan jari-jariku. Hmm ... tidak ada kabar darinya.

Air mata menggenang lambat-lambat di pelupuk mata, dadaku sakit. Tiba-tiba aku merasa rindu, rindu akan hadirnya, suaranya, aroma khas citrus, cedarwoods dan musk di dalam kamar ini semakin membuatku teringat akan dirinya. Kugeleng-gelengkan kepala pelan, kenapa jadi kangen? Tidak jelas. Toh! Dia tidak pernah peduli padaku sama sekali.

Larut malam ketika sang putri tertidur dalam temaramnya rembulan kelam, seorang kesatria datang menengoknya dari balik pintu yang terbuka, menatapnya hangat sambil berkata, "Dia tidak berubah," ujarnya berbisik lirih.

S I KTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang