#10 Bau rumah sakit

30 5 0
                                    

Bau obat, bulu-bulu halus rongga hidungnya mengendus penasaran. Daun matanya seolah tertimpa beban berat, tapi ia coba meyakinkan diri, bermonolog dalam pikir, aku harus bangun.

Perlahan-lahan tapi pasti, kedua iris mataku mulai terbuka lebar, pandanganku mengedar. Rumah sakit? Kenapa aku di sini? Bukannya tadi masih di toko perhiasan.

Kulihat slang infus menggantung di sebelah tempat tidurku. Punggung tanganku kram, mungkin efek dari infus. Bantal yang kugunakan terlalu kempis serasa tidak menggunakan bantal.

Aku menoleh ke samping ranjang, tampak kedua alis hitam panjang menggaris tajam dari wajah tampan yang hanya berjarak beberapa senti dariku sekarang. Raut mukanya saat tidur sungguh mengemaskan, mirip bocah 5 tahun yang sedang tertidur pulas. Iseng-iseng kucolek sedikit kulit pipinya yang putih mulus, kenyal seperti jeli.

Bulu matanya ternyata lentik juga. Hidungnya mancung mirip Mount Everest, bibir comel yang selalu berkata kasar tampak tipis memerah delima. Aku masih ingat saat pertama kali kami bertemu, ia berteriak sangat kasar di depanku. Tak pernah terpikir olehku sebelumnya, bisa sedekat ini dengannya. Jari-jemariku merambat halus membetulkan poni rambutnya yang jatuh ke matanya, hati-hati, takut membuatnya terbangun.

Aku berhenti saat benda mungil itu memesona paksa mataku. Kuangkat tangan kiriku tinggi-tinggi, memandang tertegun sejenak, tampak sebongkah cincin, cincin yang tadi kupilih masih tersemat indah di jari manisku. Indah berkilau.

"Hng! Sudah bangun," suaranya terdengar parau, punggung tangannya mengucek mata pelan sembari menguap lebar.

Kepalaku tersentak ke belakang karena kaget. Ops! Dia terbangun, mungkin gara-gara gerakan tanganku barusan. Aku bergerak mengambil posisi duduk berbaring, tapi dengan sigap dia menahan kedua pundakku, dan mengembalikanku ke posisi semula.

"Tidur saja," perintahnya tegas.

"Aku haus," pintaku datar.

Ia tersadar dengan inginku, "Biar kuambilkan." Menuangkan air ke dalam gelas di atas nakas. "Duduk. Aku bantu." Lengan kanannya menyangga punggungku, membantuku duduk.

Aku menoleh, menatapnya. "Kenapa aku di sini?"

"Dokter bilang 'gejala tipes'. Jadi perlu dirawat," ucapnya menjelaskan.

"Aku mau pulang," bantahku culas, menolak keras.

Lelaki itu berdecak kesal sembari melotot galak, "Ck! Kau ini. Aku hampir mati cemas gara-gara kamu." Ujung jarinya menyentil dahiku pelan.

Sedikit membuatku tersinggung, aku balas meliriknya sengit. "Aku tidak mau di sini, mending pulang," celetukku ketus, mengerucutkan bibir cemberut. Aku melihatnya bergerak berdiri, berkacak pinggang.

"Dengarkan aku. Malam ini tidurlah di sini. Besok aku tanya dokter, kamu boleh pulang paksa atau tidak?" katanya mengusap wajah sedikit kesal.

Sudut mataku melirik takut, tumben-tumbennya ia mau mendengar permintaanku, biasanya sebaliknya: marah-marah melulu.

"Terima kasih," ucapku tersenyum manis.

"Uhm ... mulai besok tinggallah di rumahku. Toh, sebentar lagi kamu pindah ke rumah."

Terbelalak kaget. Apa yang ia katakan barusan? Apa aku tidak salah dengar, ujarku membatin. Kuangkat selimut menutupi wajah, malu. "Nggak mau."

"Kamu ..." matanya menyorot tajam. "Besok kupindahkan barang-barangmu," ucapnya dengan wajah tak peduli.

Hah! Yang benar saja nih orang? pekikku dalam hati geram, tapi aku sudah tidak punya tenaga untuk berdebat dengannya.

S I KTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang