#32 MasA LaLu

66 18 3
                                    

Terbangun, kusadari diri berbaring sendirian. Di mana aku? Rumah sakit? Kuambil posisi dalam duduk, badanku masih terasa lemas, pasti aku pingsan lagi. Kupegang kepalaku yang mulai terasa pusing, mengedarkan pandangan, mencari-cari ponsel.

"Sayang, sudah bangun," ujar Key yang tiba-tiba muncul dari balik pintu. Berjalan sedikit berlari menghampiri, menggenggam punggung tanganku.

Kutepis kedua tangannya sengit, "Jangan pegang-pegang."

Key mengatupkan rahangnya, terdiam sesaat, lalu berkata, "Kamu marah."

Aku membuang muka congkak, beranjak dari tempat tidur pasien. Namun Key menahan, melarangku tuk turun. "Mau ke mana?"

"Ke mana saja, asal tidak melihatmu."

Ia menatap kedua bola mataku bergantian, menghela napas panjang. "Biar aku yang pergi," ucapnya sebelum melangkah pergi. Ujung jari-jariku sudah lebih dulu menarik kemejanya. Key membalikkan badan, menatapku. "Apa lagi?"

Kuhembuskan napas sesekali, coba menenangkan hati yang jengah. "Key, sampai kapan kamu seperti ini?"

"Maksudmu?"

"Kamu, selalu pergi seenakmu sendiri. Aku tidak suka," kataku sedikit menyolot. "Pernah tidak, sekali saja kamu memikirkan tentang aku. Tapi, aku rasa kamu tak peduli." Setitik air mata menetes di pipiku. "Aku tahu, aku bukan siapa-siapa. Aku tidak punya apa-apa. Kalau kamu menikah denganku hanya karena menuruti permintaan papamu, lebih baik kita akhiri saja." Kubuang mukaku, menengadah, berusaha menahan tangis yang hampir pecah.

"Lea, kamu omong apa sih!"

"Key, kita pisah saja."

"Tidak. Aku tidak mau. Aku tidak akan melepasmu," bentaknya di depan mukaku, penuh emosi.

"Kalau kamu tidak mau pisah. Jangan menyakitiku, aku juga punya hati, Key."

"Apa aku menyakitimu?" ujarnya dengan nada seolah merasa tak bersalah.

Aku mendengus kesal. "Menurutmu? Seandainya aku yang ada di dalam foto itu. Bagaimana perasaanmu?"

"Sayang, tidak terjadi apa-apa."

Mendengarnya mengelak membuatku semakin marah. "Bohong," tukasku ketus.

Cklek!

Seseorang berpakaian serba putih masuk dan berkata, "Maaf, apa pasien sudah bangun?"

"Sudah sus." Ia menjawab, lalu mengikuti ke mana suster itu pergi, kemudian kembali berdiri di sebelahku. "Ayo pulang. Kamu sudah boleh pulang."

"Aku tidak mau pulang."

"Tidak mau. Ya sudah, terserah kamu saja. Aku mau pulang."

Aku menatapnya berlalu pergi, meninggalkanku sendirian. Hei! Apa dia benar-benar membiarkanku sendirian? Key, bodoh. Kuputuskan untuk menunggunya, berharap ia kembali untuk menjemputku. Namun, 10 menit berlalu, Key tak kunjung jua datang sampai suster menanyakan keberadaannya. Dengan sangat terpaksa, aku harus bangkit, bangun dari tidurku, berdiri setegap-tegapnya, meraih tasku di atas nakas.

Berjalanan sendirian, melangkah gontai, menyusuri sepanjang jalan trotoar. Sambil berpikir apa yang harus kulakukan sekarang. Bingung mau ke mana? Tidak punya tujuan? Rumah? Tidak, aku tidak mau bertemu manusia tega itu. Fendi? Tidak-tidak. Aku sudah terlalu banyak menyusahkannya. Tyas.

Tin... tin... tin...

"Eh! Copot!" Saking kagetnya, mataku menatap sengit ke arah mobil yang mengklakson barusan. Jendela kaca mobil terbuka perlahan, tampak dari dalam seorang pria menatap tajam padaku.

S I KTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang