#4 MaTa Monolid iTu Ternyata

72 9 1
                                    

Minggu pagi yang cerah, aku baru ingat ada acara penting hari ini. Seperti yang dikatakan Pak Gie tadi malam, "Besok, jika tidak keberatan. Saya harap kehadirannya di rumah, makan malam bersama. Bertemu dan berkenalan langsung dengan putra saya,"

Tidak masuk akal, kenapa juga putra bos mau menikah dengan gadis sepertiku. Aneh! Menurutku. Kulipat selimut bekas tidur semalam, menata tempat tidurku seperti biasa yang kulakukan. Dering nada ponselku menggema hingga ke telinga. Tertera nomor tak dikenal, nomor telepon rumah. Siapa?

"Halo."

"Lea, maaf sebelumnya. Saya baru ingat, kalau nanti malam ada acara dengan klien. Bisa Lea datang ke rumah sekarang. Kita sarapan bersama, kebetulan anak saya sedang di rumah hari ini."

"Ba-baik, Pak," tergagap, syok mendengar perintah Pak Bos barusan.

"Sopir saya dalam perjalanan ke sana."

"I-iya, Pak. Saya bersiap dulu."

Selesai menerima telepon aku segera berlari ke kamar mandi. Mana baju belum disetrika. Waduh! Bagaimana nih! gumamku menggerutu sendiri.

Gubrak!

"Ack! Ouwch!"

Saking terburu-burunya kakiku terpeleset, terkilir. Mata kakiku memerah memar, kesakitan. Aku jadi tambah syok saat melihat jam di dinding menunjukkan pukul 8 siang. Oh tidak, rencana bangun siangku jadi batal.

Tanpa peduli kaki yang terkilir. Selesai ganti baju kuraih tas kecilku di meja. Tergesa-gesa mengunci rumah, berjalan cepat menuju mobil BMW yang telah siap menunggu. 20 menit perjalanan, dari rumah kontrakan menuju ke rumah bosku.

Tepat di depan pintu pagar. Mataku terbelalak terpukau, ketika pagar tinggi menjulang itu terbuka sendiri.

Wow! Berdiri sebuah rumah megah dengan jendela besar berukir di sepanjang sisi sudut rumah. Pilar-pilar tinggi menyangga kokoh bangunan bertingkat 2 tersebut. Pagar yang besar, rumahnya pun sangat wah, mirip kastil dunia dongeng. Mulutku sampai ternganga berliur, saking terpukaunya. Slurp!

Bagaimana tidak berlebihan jika rumah sebesar ini hanya ditinggali oleh seorang ayah dan putranya.

"Masuk, non," ujar Pak Agus membukakan pintu mobil, menuntunku menuju rumah. Perlahan tapi pasti memasuki teras, tanpa berpikir lagi kutekan bel sampai terdengar bunyi menggema dari dalam rumah. Muncul seorang bibi membuka pintu.

Langkahku tertahan di muka, menatap pintu utama yang terbuat dari baja hitam. Kuambil napas pendek sambil berpikir sendiri, belum sempat memutar kenop pintu, tiba-tiba seorang wanita paruh baya muncul dari dalam, membukakan pintu.

"Silakan masuk, Non. Sudah ditunggu tuan di ruang makan. Mari ikut saya," ucapnya mempersilakan dengan nada terburu-buru sambil berlarian kecil menuju ruang makan. Aku tersenyum geli melihat tingkah bibi yang tergopoh-gopoh.

Deg!

Tepat di ambang pintu ruang makan, tubuhku membeku, manik mataku bertemu pandang dengan matanya. Lelaki itu menatapku lekat-lekat, membuat jantungku berdetak tiga per empat. Bibirku kelu tak mampu berkata, hanya mata yang berbicara.

Lelaki berperawakan Jawa China, terbukti dari kulit putih sebening mutiara, mata monolid, bentuk wajah oval dengan rahang keras, semakin sempurna dengan hidung mancungnya. Model rambut mullet bercat golden brown, poni belah, sudah mirip oppa-oppa Korea. Gantengnya astaghfirullah, mataku sampai tak berkedip menatapnya.

S I KTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang