#20 AkhirNYA aKU TaHU

64 22 3
                                    

Pulang? Aku tidak mau pulang. Di rumah tidak ada orang, aku tidak mau sendirian. Dan ... aku tidak mau terpuruk dalam kesedihan, sudah cukup. Pandanganku tertuju pada sosok tampan di sebelahku. Mungkin bersamanya bisa membuatku sedikit lupa, pikirku.

"Fen ..." kupanggil namanya lemah.

"Hmm ... apa?"

Tiba-tiba sebuah keinginan muncul di benakku. "Temani aku nonton," ujarku mengutarakan.

"Sekarang?" tanya Fendi tidak percaya mendengar ajakanku barusan.

"Iya, sekarang," jawabku menganggukkan kepala pelan.

Sayup-sayup terdengar dering suara ponsel, bukan milikku, melainkan ponsel punya Fendi.

"Halo!" ekspresinya terlihat senang. "Tidak, aku sedang di luar."

Beberapa saat kemudian, Fendi me-loud speaker teleponnya.

"Kamu tidak pulang sayang? Mama kangen."

Terdengar lirih suara lemah lembut seorang perempuan dari teleponnya, membuatku ikut mendengarkan pembicaraan.

"Sabtu, aku pulang."

"Besok kan ulang tahun Mama sayang ... Pulang ya!" pinta perempuan yang ternyata adalah ibunda Fendi.

"Astaga, lupa. Maafin Fendi ya, Ma. Jangan marah. Fendi sayang Mama. Oh ya, Ma. Ada yang mau bicara?"

Tiba-tiba saja Fendi menyodorkan ponselnya padaku, menggerakkan kedua alisnya (berharap aku segera mengambilnya).

"Aku?" bisikku lirih. Telunjukku menunjuk-nunjuk diri tak percaya. Aku kelabakan sendiri. Harus omong apa? batinku bingung sendiri. "Fen ..." bisikku memanggil namanya, suaraku terdengar mulai panik, dia hanya mengangkat kedua bahunya sembari terseyum.

"Bicaralah, apa saja," pintanya sedikit memaksa.

Aduh! Bagaimana ini. Dahiku mulai berkeringat karena grogi. Kuembuskan napas panjang, lalu memulai bicara. "Se-selamat sore Tante, ini Vilea. Bagaimana kabar Tante?"

"Vilea ...? Oh, ya Tuhan. Vilea! Bagaimana kabarmu Nak?" suaranya terdengar terkejut campur bahagia.

"Mmm, baik Tante. Tante dan Om sehat? Semoga sehat selalu." Ada rasa rindu menjalar dalam dada, jadi teringat kembali akan masa lalu.

Fendi tersenyum-senyum sendiri mendengarku bicara dengan mamanya di telepon.

"Baik, Tante, dan Om sehat. Main-main ke rumah. Tante kangen pingin ketemu Vilea."

Belum belesai bicara Fendi mengambil ponselnya dari tanganku.

"Ma, besok aku pulang sama Lea. Masak yang enak, ya Ma. Fendi sayang Mama. Muah!" ujar Fendi sembari berlagak mengecup teleponnya.

Aku melongo mendengar ucapannya barusan, apa yang dia katakan. Dia bercanda?

"Fen, yang benar saja. Kamu bercanda? Mengajakku pulang ke rumahmu?" celetukku tersentak tak percaya.

Fendi menjawab dengan santai, "Kenapa? Tidak mau? Kalau tidak mau ya sudah, aku antar pulang." Sontak menyalakan mesin mobil.

Saat itu juga kupegang lengannya sembari menatap dengan pandangan memohon, aku benar-benar tidak mau berada sendirian di rumah malam ini.

"Apa lagi?" menoleh padaku dengan pandangan mata sengit.

"Nontonnya gimana?" tanyaku cemberut.

Ia mencubit pipiku gemas. "Iya, iya, nonton," ujarnya menjawab. "Besok, ikut aku pulang. Oke!" perintah Fendi mengingatkan.

Sampai di bioskop kami kehabisan tiket jam sore, cuma kebagian tiket nonton midnight. Aku berjalan-jalan dari satu toko ke toko yang lain, membeli beberapa baju untuk kerja, menghabiskan waktu sembari menunggu pintu teater terbuka. Fendi pamit sebentar ke kantornya berganti pakaian.

Film hampir saja dimulai, kulihat kursi penonton hanya terisi sebagian, ya karena sudah tengah malam jarang ada yang mau nonton. Pandanganku mengedar ketika lampu teater baru saja dimatikan. Fendi masih belum juga muncul, ke mana dia?

Tiba-tiba saja seseorang menutup mataku dengan kedua telapak tangannya yang besar dan dingin. Reflek kupegang punggung tangannya, mendongak meliriknya, dia ... Fendi.

Aku menyipitkan mata menatapnya. "Lam-ma," cibirku cemberut.

Fendi duduk di kursinya. "Kenapa, kangen? Kangennya di bluetooth saja," ucapnya menggodaku nakal.

"Apaan sih! Tidak jelas." Kupukul lengannya gemas.

Gerah! Bagaimana tidak. Dari awal hingga akhir film, tangannya tidak mau beranjak dari punggung tanganku. Sudut matanya sesekali melirik menyelidik, seakan takut aku akan menghilang dari pandangannya. Selesai nonton, Fendi mengantarku pulang dengan sepeda motor sport besar 1000cc miliknya. Aku terdiam di depan sepeda motornya, berdiri membeku.

Fendi menyodorkan helm padaku. "Kenapa? Takut?"

"Tidak! Siapa bilang aku takut," balasku menutupi rasa ketakutanku yang kentara.

Turun dari sepeda motor, Fendi bergerak membantuku memakaikan helm. Senyum tertahan tersungging dari bibirnya, membuatku harus menahan malu. Dari dulu aku paling tidak suka kalau dibonceng Fendi, selalu mengebut, dan membuatku berteriak ketakutan.

"Naik. Ayo naik!" ajak Fendi menutup kaca helm, menghidupkan mesin sepeda motornya.

"Awas saja kalau ngebut," pesanku sebelum naik.

"Enggak kok, paling cuma jalan seratus."

"Gila! Aku nggak mau ikut," timpalku kesal, terburu-buru turun.

Fendi menarik pergelangan tanganku cepat, "Enggak, enggak, bercanda."

"Beneran. Awas kalau bohong."

Brum! Brum!

Tengah malam, sangat sepi, tak terlihat satu pun kendaraan yang lewat, bahkan seekor kucing tak terlihat melenggang di jalanan. Hanya ada aku dan Fendi berdiri di depan pintu pagar rumah. Angin malam berembus dingin merasuk menembus kulit. Fendi meraih kedua tanganku, menyembunyikannya dalam kedua belah tangannya.

"Mmm, perlu kutemani?" suaranya terdengar seperti bisikan lirih di telingaku.

"Pulang sana! Aku tidak mau ada serigala kelaparan di rumahku," sindirku mengolok.

"Apa? Serigala? Kau ...!" Fendi mencubit hidungku gemas.

Aku tersenyum memandang. "Pulanglah. Besok jangan lupa jemput."

"Serius!" ujarnya memastikan.

"Iya, pulang sana," balasku mengerjapkan mata, meyakinkan.

"Sya," ujarnya memanggil namaku, meninggalkan sebuah kecupan lembut di pipi kiriku.

Kami saling tersenyum, tertunduk malu-malu mirip orang yang sedang jatuh cinta, hingga Fendi melepaskan genggamannya. Perlahan-lahan jari jemarinya bergerak menjauh dari ujung jari-jari tanganku, meninggalkan sepercik bahagia dalam dada ini. Bolehkah?

 Bolehkah?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
S I KTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang