#16 Ia ... kemBali

12 1 0
                                    

Setibanya di rumah, aku membawa Fendi dengan penuh perjuangan, menyangga berat tubuhnya dengan sebelah pundakku. Berhenti di depan pintu pagar rumah, menghela napas sejenak. Membuka pagar dengan segala sisa tenaga yang kupunya. Berpikir, apa aku seret saja dia? Ah! Tidak. Iya kalau tas travel diseret, aku terkekeh geli dalam hati.

Perlahan-lahan tapi pasti, akhirnya kami sampai juga di depan pintu rumah. Kubuka kenop pintu perlahan, sempoyongan memapah Fendi masuk ke dalam rumah. Gelap? Perasaan tadi lampunya masih nyala.

Deg!

Kedua bola mataku tersentak hebat, memandang penampakan bayangan sesosok jangkung berdiri tak jauh di depanku. Jangan-jangan dia? Hantu? Terlalu gelap, iris mataku tidak bisa menangkap dengan jelas.

Tiba-tiba, lampu menyala sendiri. "Key" berdiri di hadapanku, tatapannya menyorot tajam. Aku menatap tak percaya, ingin sembunyi seandainya aku punya tempurung, tapi tidak bisa. Key mendekat, langkahnya berirama, jantungku terasa menciut perlahan. Sosoknya tengah berdiri di depanku sekarang, dengan sigap kedua tangannya mengambil tubuh Fendi dariku. Tanpa berkata apapun dia membawa Fendi masuk ke dalam kamar. Tak berselang lama, Key keluar menutup pintu kamar pelan—aku yang sedari tadi berdiam diri—tidak beranjak. Tubuhku membeku.

Langkahnya terlihat santai, "Aku pulang." Seutas senyuman menyapa dari bibirnya.

"Jangan dekat. Maju selangkah kupukul kamu," tukasku melangkah mundur ketika Key mulai mendekat.

Seolah tak menggubris ucapanku, Key menarik, mendekapku dalam pelukannya. "Maaf, membuatmu marah." Suaranya terdengar seperti bisikan halus di telingaku. "Jangan marah." Bibirnya mengecup keningku lembut.

Bongkahan es yang kutimbun selama beberapa minggu kemarin perlahan mencair seketika itu juga tanpa penolakan pasti. Perasaan marah yang kupendam dalam hati, memudar hanya dalam sekejap mata.

"Kok diam!" ujarnya seolah-olah sengaja mengetes perasaanku.

Lambat laun, bulir-bulir air mata menetes di pipi, tak sanggup terbendung lagi.

"Kamu nangis," tanya Key menundukkan kepala, menyejajarkan mata dengan kedua bola mataku.

Aku menangis tersedu sedu. Pada saat itu raut muka Key berubah panik, ia mengangkat wajahku sambil berkata, "Lihat aku." Ibu jari tangan kanannya menyeka air mata di pipi kiriku lembut. Kecupan manis mendarat di kelopak mata kiriku.

"Kamu jahat! Tega banget! Nggak peduli sama aku. Aku tahu, aku cuma orang asing." Kudorong-dorong dadanya kesal. Seberapa keras aku mendorongnya, ia malah mendekapku erat dengan kedua lengannya, ketat.

Key menghela napas panjang, "Mama sayang. Maafin Papa ya." Tangannya mengusap-usap punggungku lembut.

Aku menggigit bibir bawahku pelan, seolah tak percaya mendengar ucapannya barusan. Dada ini bergetar hangat, kubiarkan pelukannya membekapku sedikit lama, membiarkan rindu tuk tersampaikan.

Detik jarum jam berdetak seiring detak nadi yang mengalun bak trampolin. Suasana kamar hening lengang, hanya ada aku, dan Key, berduaan saja di dalam kamar. Duduk bersebelahan, saling diam, melempar pandangan ke arah dinding. Salah tingkah. Aku menggigit bibir bawahku dengan kedua tangan mengepal erat di pangkuan. Sepertinya Key merasa kikuk, sama sepertiku. Dadaku semakin berdebar tak karuan, apalagi saat ujung jari jemarinya bergeser sedikit demi sedikit mencoba menyentuh ujung jari telunjukku

Kay membuka mulutnya. "Mmm, aku mandi dulu," ucapnya singkat. Tak segera beranjak dari duduk, ia kembali terdiam memandangi langit-langit kamar. Melirikku sembari bertanya, "Kamu sudah makan?"

"Sudah," jawabku cepat.

Key terdiam lagi beberapa saat, kemudian, "Mmm, Kamu tidak apa kita tidur bersama malam ini?" raut wajahnya terlihat malu-malu, daun telinganya memerah.

Mulutku tak menjawab, hanya melirik, sepertinya pipiku memerah, mirip tomat baru matang. Tersipu malu.

Key tersenyum melirikku. "Aku mandi dulu." Ia beranjak dari duduk menuju kamar mandi.

Tepat di depan pintu kamar mandi. Astaga! Mataku terbelalak, tertuju pada Key. Dari balik partisi ruangan yang buram, tampak jelas siluet lekuk bentuk tubuh miliknya. Seperti adegan sebuah video klip, aku menyaksikan sendiri Key membuka bajunya satu per satu, meski hanya dalam bentuk bayangan hitam. Kedua tanganku reflek menutup mata, greget. Pikiran jorok melayang-layang di kepala. Hush! Hush! Piktor, piktor,cepat sana pergi. Kutelan saliva pelan. Slurp!

Pikiranku seolah tak tenang, kelimpungan sendiri, bingung harus berbuat apa. Kulirik sederet buku yang terpajang di rak dinding, bertanya pada diri sendiri, baca buku? Kemudian beralih melihat ke pintu, atau aku tidur di luar saja? Sebuah ide muncul, pura-pura tidur saja. Ya, paling gampang adalah berpura-pura tidur.

Bergegas melompat naik ke atas tempat tidur, menarik selimut, menyelimuti sekujur tubuh. Beberapa menit kemudian terdengar suara langkah kaki mendekat, suara gerakannya semakin membuat jantungku berdebar-debar.

"Sayang. Dah tidur?" telapak tangannya yang dingin menyentuh pundakku lembut.

Aku menggigit ujung jariku ketika lengannya melingkar di pinggangku lembut. Bisa kurasakan desah napasnya yang berat menggelitik daun telingaku. Desiran gairah muncul tak menentu, detak nadiku bertalu-talu gembira, napasku seolah tersangkut di tenggorokan. Darah serasa mengalir deras sampai ke ubun-ubun, membuat pikiranku mendadak linglung.

"Sayang ..." bisikannya merdu mendayu, menggelitik telinga. "Aku tahu kamu belum tidur."

Terus kalau belum tidur, mau apa? Batinku dalam hati.

Benar saja, tangannya menggapai tubuhku, membalikkan badanku menghadapnya. Kedua bola mata kami saling bertemu pandang, menatap dalam diam.

"Kamu masih marah?" tanya Key berbisik.

"Tergantung," jawabku melirik sinis padanya.

Seutas senyuman kecil tersungging di bibirnya. "Boleh aku cium?" tanya Key gamblang.

Bola mata ini membelalak lebar. Apa? Yang benar saja? Kataku dalam hati. Spontan saja kubekap bibirku dengan kedua telapak tanganku cepat. Key terkekeh geli melihat reaksiku.

"Bukannya tadi aku dah cium. Kenapa, malu?"

Buru-buru kuputar badan, tapi belum juga bergerak, Key sudah lebih dulu menahan, menarik jari-jemariku. "Cepat tidur. Kalau enggak—"

Semakin dia menggodaku, semakin erat aku membekap mulutku. Tubuh ini membeku ketika Key menyandarkan kepalaku di lengannya, merengkuhku lebih erat dalam dekapan. Kubaringkan kepalaku di dadanya, nyaman. Hmm ... wangi aroma sabun berembus dari tubuhnya, membuat fantasiku melayang-layang melawati ambang batas.

Sudah larut malam, tapi kedua mataku masih terjaga. Seolah-olah menelan sebotol doping sehingga bisa membuatku tak tertidur sampai besok. Tidak seperti pria yang tengah tertidur pulas di sebelahku, ingin rasanya aku mencakar wajahnya yang tak bersalah. Semuanya gara-gara dia.

 Semuanya gara-gara dia

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
S I KTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang