#26 WaniTA ITu ...

46 17 3
                                    

Petang, perlahan-lahan langit berubah memerah keemasan. Lalu lalang kendaraan mulai padat merayap pada jam pulang kantor, membuat kegaduhan di luar kantor yang tidak bisa terdengar dari balik tembok-tembok tinggi menjulang, tebal kedap suara. Semilir angin dingin tak mampu menembus ke dalam ruangan yang sepi lelang.

Termenung sendirian, menatap jam di layar ponselku. Aku sengaja pulang terlambat hanya demi menunggu seorang lelaki yang sedari tadi sibuk berada di kantornya. Makan siang tadi ia meneleponku sambil merengek dengan nada kekanakan. Key bilang, "Baru saja selesai rapat, sudah disodori setumpuk laporan di depan meja. Kepalaku rasanya mau pecah."

Biar kuberitahu, ini adalah hari ke sepuluh Key berada di kantor. Aku bersyukur ada sedikit perubahan dari sikapnya selama ini, suami yang dulu tak pernah peduli padaku mulai perhatian, tidak pernah lupa mengabari apapun yang dia lakukan. Kuputar handle pintu, membuka sedikit mengintip ke dalam, mencari sosok yang sedari tadi kurindukan. Hei! Lelaki itu menatapku tajam dari tempat duduknya, memegang berkas, dan pulpen di tangan.

"Sini, masuk!" serunya melambaikan tangan, memintaku menghampiri dirinya.

Tepat di hadapannya, ia memeluk pinggangku, menyandarkan kepalanya di perutku manja.

"Sayang, aku capai. Boleh tidak, aku..." keluh Key dengan wajah memohon.

Kuletakkan ujung jari telunjukku di bibirnya. "...tidak. Ini kantormu dan ini tanggung jawabmu." Kukecup keningnya lembut. "Pikirkan apa yang sudah papa berikan selama ini padamu. Ia hanya mau melihat anaknya bahagia." Kubelai punggungnya sayang.

"Anak? Kamu mau anak berapa? Dua? Lima? Sepuluh?" ujarnya dengan senyuman di wajahnya..

Tersentak kaget. "Kamu mau punya anak?" kumiringkan kepala, tak percaya mendengar ucapnya barusan.

"Jelaslah. Memang kenapa? Kamu tidak mau?" matanya menyipit ragu.

Kuhela napas pendek. "Tidak masalah. Asal kamu mau berubah," cibirku mengena.

"Berubah? Berubah bagaimana?" kedua alisnya mengernyit tak mengerti.

"Lebih bertanggung jawab. Dan..." ucapku terhenti, kemudian tertunduk menatap lantai.

"Dan apa?"

Aku menatap kedua bola matanya bergantian. "Belajar jadi bapak. Lebih peduli keluarga, lebih sabar, dan pengertian. Pokoknya, aku mau suamiku jadi 'bapak yang baikl'." Kutangkup wajahnya dengan kedua tanganku, mengecupnya sekali.

Drt...

Ponsel Key bergetar beberapa saat di atas meja. Pandangannya spontan tertuju, menatap ponsel sejenak.

"Siapa?" tanyaku penasaran.

"Uhm... nomor tidak dikenal, biar saja. Oh ya, kamu sudah makan?" ujarnya seolah mengalihkan perhatian. Berdiri dari duduk sembari memeluk pinggangku, tak lupa menyambar tas kerjanya. Kugelengkan kepala pelan, mengikuti langkahnya keluar dari dalam kantor yang kini sepi tanpa penghuni.

Kupandangi wajahnya yang tertidur pulas sambil memainkan poni rambutnya. Key tak sabar membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur setelah beberapa menit lalu kami baru tiba di rumah (pulang dari makan). Aku tahu mungkin ia lelah, seharian bergelut dengan segunung pekerjaan. Kasihan... kubelai rambutnya helai demi helai, mendaratkan kecupan kecil di pipi, dan dahinya. Ia tak bergerak, hanya menggaruk lehernya sebentar kemudian membalikkan badannya ke samping kanan.

****

Pukul 15.04, langit terlihat mendung dari jendela kaca kantor yang kosong. Suara telepon berdering lagi, lagi, lagi, dan lagi. Sudah lima puluh satu kali nomor asing itu meneleponnya dari kemarin, tapi ia tetap bergeming, hanya memandang sebentar lalu membalikkan ponsel enggan.

S I KTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang