#28 So Sick

55 19 3
                                    

Mendadak perutku terasa kram, sakit melilit, kucoba mengabaikan rasa sakit itu. Berkas yang menumpuk di atas meja membuatku tidak bisa istirahat, meski hanya sejenak. Aku harus menyelesaikan semuanya hari ini juga, Pak Leo meneleponku tadi pagi, memintaku untuk segera menyelesaikan laporanku. Ponselku berdering sedari pagi, tapi aku bergeming, hanya melihat sebentar tanpa berniat mengangkatnya.

Fendi: Yaya, kamu di mana? Aku jemput sekarang

Asal tahu saja, aku kabur dari rumah sakit. Fendi pergi sarapan saat perawat melepas infusku. Aku hanya tidak mau menyusahkan, membuatnya selalu mengkhawatirkanku.

Menjelang sore hari, mata ini mulai lelah, kepalaku sudah mulai pening gara-gara seharian menatap ke komputer. Rasanya sudah tak sanggup bergerak, badan ini terasa sakit semua.

"Lea, kamu sakit? Wajahmu kelihatan pucat," celetuk Atma yang tiba-tiba berdiri di sampingku.

"Tidak, tidak apa-apa. Sebentar lagi pulang." Kusunggingkan senyuman tipis, menutupi rasa sakit yang semakin lama semakin berat mendera.

"Mau pulang bareng tidak?" celetuk Atma menawarkan.

"Tidak. Aku ada janji," tolakku sehalus mungkin. Aku tidak bohong soal janji, hari ini Tyas akan menemaniku mencari kos-kosan. Mengapa saya mencari kos-kosan? Aku ingin menyendiri, menenangkan diri untuk sementara waktu.

"Ya sudah. Aku pulang dulu," pamit Atma sembari menepuk pundakku pelan.

"Lea, cepat pulang. Kerjakan besok saja," sela Nile yang tiba-tiba muncul dari balik tubuh Atma.

"Iya, iya. Sebentar lagi."

"Oke. Bye, bye." Keduanya berpamitan padaku sembari melambaikan tangan.

Aku balas melambaikan tangan pada mereka berdua, hingga pintu ruangan tertutup kembali. Terdiam memandangi layar monitor di depanku, anak sungai menggenang sedih di pelupuk mataku, rasanya ingin nangis selesai memandang seraut muka yang terpajang dalam layar ponselku. Bagaimana... kalau aku minta...? Batinku berpikir keras. Kugeleng-gelengkan kepala menyangkalnya, lebih baik aku pergi sebelum kondisiku bertambah parah.

Kumatikan komputerku, menyambar tas, melangkah keluar dari ruangan kantor. Kepala ini rasanya berputar-putar, pusing, mual. Keringat dingin keluar dari pori-pori kulitku. Di sekitarku mendadak berubah gelap. Aku masih ingat saat berjalan sempoyongan ke lift, setelahnya... tidak.

Kelopak mata ini mengerjap pelan, menatap langit-langit kamar. Berikutnya, pandanganku mengedar, memandang sekeliling ruangan. Asing! Di mana aku?

Ranjang single bed king size tempatku terbaring, ada meja rias, dan lemari kecil di sebelah tempat tidur. Di sudut pinggir ruangan terdapat meja kecil tempat pemanas air dan beberapa cangkir tertata rapi di atasnya, mirip kamar hotel. Tersentak, tersadar, spontan kupandangi badanku. Syukurlah, bajuku masih lengkap. Suara gemericik air terdengar dari arah kamar mandi. Kedua kakiku buru-buru turun dari tempat tidur, meraih tas, dan sepatu hak tinggiku yang tergeletak di bawah lantai sebelah tempat tidur. Mataku dikejutkan pada kartu tanda pengenal yang tergeletak di atas meja. Atma? Kenapa dia membawaku ke sini? Batinku bertanya-tanya. Tanpa menunggu lama, aku bergegas keluar melarikan diri, berjalan terseret dengan badan lemah, sempoyongan.

Drt...

Ponselku bergetar terus-menerus dalam tas. Aku berjalan terhuyung-huyung masuk ke dalam lift, menyandarkan diri pada pegangan dinding lift, merogoh tas mengambil ponsel.

"Fen... jemput aku," kataku begitu menerima telepon darinya. Aku benar-benar tidak kuat untuk berdiri, rasanya mau pingsan.

"Kamu di mana?"

S I KTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang