#39 ManuSia BoDoH

6 2 0
                                    

Sayup-sayup telingaku mendengar suara orang di sebelah, sepertinya mereka membahas tentang sesuatu, tapi aku tak begitu jelas terdengar, suara mereka kedengaran lirih

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sayup-sayup telingaku mendengar suara orang di sebelah, sepertinya mereka membahas tentang sesuatu, tapi aku tak begitu jelas terdengar, suara mereka kedengaran lirih. Kucoba membuka mata meski terasa berat sangat. Tangan dan kakiku kaku, susah untuk digerakkan. Semenit, mungkin aku butuh waktu semenit tuk mengembalikan separuh energiku, membuka mata, dan bernapas lagi.

Mereka bertiga berdiri memandangiku, Tyas, Fendi, dan Key. Ada apa ini? Kenapa mereka di sini bersamaan, batinku coba menerka.

"Sayang, kamu sudah bangun?" Key mendekat, menyentuh pipi kananku.

Manik mataku berputar menatap mereka bertiga bergantian. "Aku kenapa?" tanyaku bersuara lemah.

"Tadi kamu pingsan."

Iris matanya memerah sembab, sepertinya Key habis menangis, tapi kenapa ia nangis. Tiba-tiba saja muncul Pak Gie dari balik pintu, mimik muka Pak Gie tampak cemas, berhambur menghampiri tempat tidurku.

"Kamu tidak apa-apa, Nak?" tanya Pak Gie menatap khawatir.

"Tidak, saya tidak apa-apa."

Pak Gie beralih bertanya pada Key, "Kamu Key, apa kata dokter?"

"Tidak apa, Pa. Cuma luka kecil, aku mau pulang," pintanya dengan muka senang, ia berkata seolah baik-baik saja.

"Kamu buat Papa jantungan saja," ujar Pak Gie menghela napas sembari mengelus dada.

"Tenang, Pa! Aku sangat sehat. Pa, aku mau pulang, aku tidak mau di sini."

"Ya, sudah. Papa urus dulu kepulangan kalian," ucap Pak Gie sebelum keluar dari dalam ruangan.

Berikutnya, Pak Agus datang membawa kursi roda, lalu membantu mendudukkan Key dengan hati-hati. Key mendorong kursinya menghampiri tempat tidurku.

"Sayang, kamu kuat berdiri tidak?"

Dia ... suamiku sendiri, aku tak menyangka kalau orang inilah yang telah membunuh kedua orang tuaku. Napasku seakan tercekat, kutahan rasa kekecewaanku dalam-dalam.

"Badanku lemas, kamu pulang aja dulu. Nanti biar Tyas yang antar," kataku menolak pulang bersamanya.

Tampangnya berubah sedih, Key menghela napas pendek sambil berkata, "Oke. Aku pulang dulu." Nada bicaranya seolah pasrah, menerima penolakanku, kemudian Key melempar pandangan ke arah Tyas. "Yas, tolong antar Lea pulang."

"Yas, aku pulang dulu. Tolong jaga Yay ... eh! Lea," ujar Fendi buru-buru meralat menyebut namaku.

"Oke. Biar aku yang antar, kalian pulang dulu saja."

Kupalingkan muka culas ketika mereka berdua berlalu pergi dari hadapanku. Muak ... itu yang kurasakan saat melihat wajah keduanya. Wajarlah, akhirnya aku tahu kebenaran tentang penyebab kematian kedua orang tuaku. Bagaimana bisa aku bersikap baik-baik saja sedangkan pelakunya sendiri tak mencoba untuk menjelaskan apalagi meminta maaf. Kebencian seolah meradang dalam hatiku, luka yang mereka berdua torehkan selama bertahun-tahun membekas teramat dalam.

S I KTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang