#40 MerinDuMU

9 2 0
                                    

Salju ... buliran-buliran kecilnya perlahan turun menumpuk tebal di ujung bingkai jendela kaca ruang tamu yang legang. Di luar, tampak permadani putih membentang luas, rumah-rumah kecil, ranting-ranting pohon, serta jalan setapak, bersembunyi di antara tumpukan salju yang semakin tebal. Kedua mata ini seolah takjub memandang, sesuatu yang tidak pernah kualami sebelumnya. Semilir udara dingin berembus masuk ke dalam rumah. Ujung hidung ini seolah membeku, kuusap-usap kedua lenganku yang mulai merinding kedinginan. Aku berdiri, menatap keluar jendela.

Siang itu masih teringat jelas di benakku, percakapan terakhirku bersama Pak Gie.

"Saya mau minta cerai," kataku sarkas.

Tiba-tiba saja, Pak Gie berlutut di depanku sambil berkata. "Papa mohon, maafkan Key. Dia juga menderita setelah kejadian itu. Kalau kamu marah, marah sama Papa. Papa yang menyembunyikannya selama ini darimu." Iris matanya berkaca-kaca, air mata menetes perlahan dari pipinya.

Aku berjalan mendekat, mengambil posisi sama, menyejajarkan mata, memegang kedua bahu Pak Gie, membantunya berdiri. "Papa kumohon berdirilah." Tak kuasa, tangisku mulai terisak pelan. Setelah berhasil membuat Pak Gie berdiri, aku menuntunnya menuju sofa. Menggenggam kedua tangan tuanya di antara kedua belah tanganku. "Saya, saya mau berpisah dari Key. Saya mohon bapak bisa mengerti," pintaku di antara isak tangis.

"Papa sudah dengar dari dokter," ungkap Pak Gie padaku. "Kalian tidak mungkin bercerai."

"Saya tidak mau bertemu Key, saya ingin pergi."

"Lea mau pergi. Pergi ke mana?" tanya Pak Gie dengan raut muka gusar.

"Saya belum tahu," gumamku tertunduk dalam.

"Nak Lea, bagaimana kalau begini saja. Untuk sementara, tinggal di luar negeri saja. Papa punya rumah di sana. Setelah Vilea merasa tenang, Papa mau Vilea kembali, pulang bersama Key," pinta Pak Gie, tenang. "Papa mohon, jangan tinggalkan dia sendirian. Dia anak papa satu-satunya. Hidup papa. Melihatnya bahagia, itu sudah cukup." Punggung tangannya menyeka air mata yang masih menitik.

"Mmmm, baik Pa," gumamku diakhir pembicaraan.

Tepat pukul 2 dini hari. Kukecup keningnya hati-hati, takut membuatnya terbangun. Aku pergi dari rumah tanpa sepengetahuannya. Meninggalkan secarik kertas yang kuletakkan di sebelah bantalnya, berisikan goresan tangan, bekas air mataku.

Teruntuk PakSu

Kamu ingat tidak? Pertama kali kita bertemu.

Pria sombong dan kasar. Itu yang  kulihat dari kamu. Dan ... setelah bersamamu, ternyata kamu lebih menyebalkan. Tanyaku terjawab sudah, kenapa pria kaya sepertimu mau menikah dengan wanita biasa sepertiku. Sebatang kara, tidak punya apa-apa. Sekarang aku tahu darimana datangnya semua barang, dan makanan untukku, tapi semua itu belum cukup  membuatku memaafkanmu.

Aku butuh jeda tuk menata rasa.

Bahagia itu sederhana, sesederhana mencintai tanpa menyakiti.

Australia, sepuluh minggu aku tinggal di sini, di rumah ini. Seorang diri, tanpa teman. Kuhempaskan surat kabar yang selesai kubaca ke atas meja kecil dekat perapian, foto berita pernikahan Stecya mengisi penuh kolom halaman pertama. Aku bergerak berbaring meringkuk menghangatkan diri di atas sofa, menarik selimut tebal menutupi lenganku yang mulai kedinginan. 

Hari pertama aku menginjakkan kaki di rumah ini. Kupikir mudah hidup di sini, berbekal keberanian, dan skor TOEFL 400. Ternyata, tidak mudah. Tidak ada seorang pun yang kukenal di sini. Aku sempat menangis, menelepon Fendi, memintanya untuk menjemputku, tapi dia tidak berani membawaku pulang, "Sungkan pada Pak Gie", katanya. Sepintas terlintas dalam benakku untuk coba menelepon Key, namun segera kuurungkan, aku tidak mau terlihat lemah di depan mukanya.

S I KTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang