#8 Bingung! Terima tidak ya ...

134 28 22
                                    

Penat ... Keringat mengalir bercucuran dari leher dan kening putih glowing sebening mutiara. Dari luar jendela teriknya matahari berpendar menyengat menusuk–nusuk memaksa masuk dari kisi-kisi kaca jendela sebuah ruangan. Cuaca panas kali ini sungguh membuat gerah, air conditioner bersuhu 18°C masih terasa panas di badan, mungkin saja freonnya habis.

Seseorang sudah mencoba menghubungi bagian teknisi namun tidak ada yang mengangkat. Dengan terpaksa seseorang itu pula yang harus bolak balik naik turun tangga dari ruangannya menuju ke ruang teknisi, ketika kembali ke ruangan tampak teman-teman lainnya tengah sibuk dengan kertas, map, dan apapun itu sebagai kipas. Tak terkecuali Fanny yang duduk paling ujung, wanita bertubuh tambun berkacamta tebal itu terlihat kelimpungan bingung sendiri berputar-putar tidak jelas. Duduk, berdiri, ke luar ruangan, kemudian kembali ke tempat duduknya, kegerahan.

Betis kakiku sudah mulai kesemutan, aku berjalan terburu-buru menyusuri koridor panjang yang sepi hening. Hanya orang tertentu saja yang diperbolehkan naik ke lantai paling atas. Tidak bukan adalah ruangan kantor milik "direktur utama". Panik? Tentu saja. 5 menit lalu aku masih menerima telepon dari ruang sekretaris direktur, mereka memintaku untuk segera menghadap direktur (Pak Gie). Jantungku berdegup kencang ketika tiba di depan pintu. Kupegang gagang pintu dan membukanya perlahan.

Sebuah tangan menarik lengan kananku kasar. "Mau apa kamu?" bentaknya galak dengan suara yang lirih.

Kemunculannya yang tiba-tiba membuatku kaget setengah hidup. Kuusap dada menenangkan detak jantung yang berdetak cepat.

"Bukan urusanmu," balasku memalingkan muka ketus.

Tanganku masih memegang gagang pintu, memandangnya sinis. Dia balas menatapku tajam, tanpa alasan pasti lelaki itu tiba-tiba menarik dan menyeretku paksa.

"Lepaskan!" teriakku padanya marah, tapi ia seolah tak peduli.

Membawaku paksa melewati koridor, dan... BRAK! Pintu ruangan tertutup kasar, menimbulkan sedikit guncangan. Mataku terbelalak sempurna ketika lelaki itu memenjarakanku dengan kedua lengannya, menyudutkanku ke tembok. Kedua bola matanya seakan hendak memakanku hidup-hidup

"Lepaskan!" pekikku mengerang, berontak coba tuk lepas. Aku memelototkan mata galak padanya. "Maumu apa?"

"Masih mau menolakku?" ucapnya bertanya dengan wajah serius.

"Kalau iya kenapa?" kudorong dadanya sebisaku.

Sedikit bisa bernapas lega setelah seper sekian detik merasakan tidak nyaman berada terlalu dekat dengannya. Ia menarik pundakku, wajahnya berubah lebih tenang. Selanjutnya, meraih, dan menggenggam jari jemari tanganku lembut. Pandangan matanya menatapku dalam, sedalam lautan lepas.

"Menikahlah denganku," suaranya terdengar seperti angin surga yang berembus sejuk di telingaku. Mataku terbelalak sempurna mendengar ucapan yang terlontar begitu mudah dari mulutnya.

Deg!

Kaget! Kaget, malu, risih, campur aduk ketika ia mengecup punggung tanganku lembut.

"Mulai sekarang kamu tanggung jawabku." Matanya menatapku dengan pandangan penuh harap.

Detik itu juga kutepis kedua tangannya kasar, ia tampak terkejut melihat reaksiku. Berikutnya, ia mendengus pelan, lalu berjalan menuju pintu, dan membukanya lebar-lebar.

"Pergilah!" pintanya dingin memalingkan muka tanpa melihatku.

Aku jadi semakin bingung dibuatnya, apa maunya lelaki ini sebenarnya? Barusan ia mengajakku menikah, sekarang menyuruhku pergi. Tidak jelas.

Kakiku ingin melangkah menjauh, tapi badanku membeku tak bisa digerakkan. Kuhela napas panjang dan bertanya, "Kenapa kamu mau kita nikah? Kita tidak pernah kenal sebelumnya."

S I KTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang