#35 KOnseKuensi Hati

11 2 0
                                    

Di  hari keberangkatanku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Di hari keberangkatanku. Hati ini merasa berat untuk meninggalkan kota, tentu saja bukan hal itu yang kumaksudkan. Aku sangat-sangat tidak ingin meninggalkan Vilea sendirian. Kasihan, itu yang kurasakan. Namun, setelah menjalani kehidupanku di luar negeri, kupikir aku sedikit bisa melupakan tanggung jawabku. Tapi, itu bohong. Aku bekerja part time, dan separuh dari hasil kerjaku kutransfer pada Bu Firda untuk diberikan pada Vilea, meski tidak banyak. Sampai akhirnya, teman sekampus menawariku untuk menjadi seorang model, Stecya. Ya, gadis cantik bermata hazel, bentuk wajah tirus dengan tulang pipi yang memesona. Sayang, kehidupannya terlalu rumit, ayahnya menikah lagi dengan seorang wanita yang tidak menyukai kehadirannya. Seorang adik, hadir di dalam kehidupannya, membuatnya tersingkir dari perhatian kasih sayang ayahnya. Ia memutuskan untuk hidup di sebuah apartemen kecil, sendirian. Sebenarnya, kami tidak benar-benar berpacaran, dia hanya memanfaatkanku untuk menjauhkannya dari para lelaki yang mendekat dan mengganggunya. Pertama kali, kupikir dia terlalu picik menggunakanku sebagai bodyguard-nya, tapi tidak setelah aku tahu pria macam apa yang mendekati Stecya. Pria beringas yang suka main pukul, ada juga pria berstatus bos preman. Aku jadi tidak habis pikir, dari mana dia mengenal pria-pria tipe macam begitu.

Kuakui, terkadang hubungan kami lebih dari sekedar teman. Sering kali, Stecya, tanpa malu memeluk dan menciumku di depan publik. Tapi ... entah, kenapa aku tak pernah menolak saat dia menginginkanku untuk lebih intim, kecuali untuk hal yang satu itu. Ketika dia mulai berbuat lebih, aku selalu menolak, mengingatkannya sambil berkata, "Stecya. Jangan. Aku punya tunangan." Meski dia tidak pernah percaya aku berkata begitu.

Di musim gugur, sepupuku, Fendi, datang berkunjung. Aku sempat terkejut, karena seminggu kemarin aku baru saja pulang ke rumah. Tentu saja hanya untuk melihat dari dekat keadaan calon istriku. Baterai rinduku sudah penuh setelah melihat senyum manis terukir indah dari paras cantiknya.

Fendi menangis, sungguh membuatku kaget bukan main. Ia seorang polisi, tapi menangis cengeng seperti anak kecil di depanku. Ia bercerita, kalau ia merindukan gadisnya. Teman sekolah, sekaligus cinta pertamanya. Jujur, aku bosan mendengar ceritanya, sudah beribu bahkan jutaan kali ia mengatakannya. Sebetulnya, aku penasaran. Gadis tipe macam apa yang ditaksir sepupuku, hingga ia rela mencarinya sampai ke ujung dunia sekalipun.

Selesai mendapat gelar sarjana, aku tak segera kembali ke negaraku. Ada beberapa hal yang harus kuselesaikan, terutama dunia modeling yang sudah kugeluti, juga mengakhiri hubunganku dengan Styecya. Tapi tidak, setelah aku mendapat telepon kalau papa sedang sakit. Aku harus pulang, menggantikan posisi papa di kantor selama papa sakit. Biar kuberi tahu, hari pertama kerja, sepulang dari kantor, aku bertemu dengannya. Calon istriku. Jodoh, mungkin benar kami berjodoh. Hanya saja, aku merasa sedikit menyesal karena sudah sengaja bersikap arogan dan sok galak di depannya. Alasanku bersikap begitu adalah aku tidak mau dia sampai curiga.

Esoknya, tanpa kuduga Stecya datang ke rumah, membawa kabar baik untukku. Dengan wajah pura-pura sedih, dia berhambur memelukku sembari berkata, "Aku menyukai orang lain." Tentu saja, kupu-kupu dalam dadaku seolah terbangun dari tidur panjangnya, sudah lama aku menantikan momen ini. Aku benar-benar bahagia mendengarnya. Akhirnya, aku terbebas dari belenggu yang selama ini merantai jiwa dan ragaku. Saking bahagianya aku sampai menitikkan air mata bahagia. Sehari setelah kepulangan Stecya, aku meminta papa untuk segera melamar Vilea. Aku harus segera menikah, aku tidak mau Stecya berubah pikiran dan memaksaku untuk kembali padanya.

Sebetulnya, itu ideku: mengundang Vilea sarapan pagi di rumah. Aku sudah tidak sabar ingin memandang parasnya dari jarak dekat. Awal perjumpaan kami, ekspresi wajahnya sungguh-sungguh terkejut, kedua manik matanya membelalak penuh. Melihatku seperti melihat hantu saja. Aku bahkan harus menahan tawa selama setengah jam, melihat gerak-geriknya yang salah tingkah di depanku. Cute banget.

Sebetulnya, aku sempat merasa was-was saat dia bilang "mempertimbangkan" tentang pernikahan. Bagaimanapun aku harus menikah dengannya, aku sudah membuang waktuku cukup lama dengan berada jauh darinya. Seperti biasa, aku juga masih melakukan rutinitasku "menguntit" kegiatan calon istriku. Tak perlu menunggu sampai dia pulang kerja, kadang aku memata-matainya saat jam makan siang, atau saat dia sedang di dalam ruangan kantor. Sshh! Jangan bilang padanya kalau aku sengaja memasang beberapa kamera cctv khusus di dalam ruangan kantornya, bahkan di meja kerjanya. Aku bisa melihatnya dari ponselku, kapan pun aku mau. Menurutmu aku berlebihan?

Malam itu, aku benar-benar dibuatnya terkejut. Vilea, tiba-tiba pingsan di depan lift. Beruntung waktu itu aku sedang berjalan di depan pintu kantornya, tanpa sengaja mendengarnya berbicara dengan seseorang. Teman sekantornya. Pria itu, sudah dari setahun lalu aku ingin memindahkannya ke bagian lain, jauh dari Vilea, tapi Bu Firda menolak dengan alasan permintaanku tidak bisa dipenuhi. Pasalnya, dulu aku pernah tanpa sengaja berpapasan dengannya di depan lobi kantor, ponselnya terlempar jauh, dan saat aku memungutnya, sebuah foto terpajang di layar ponselnya. Instingku mengatakan kalau ia ada rasa pada Vilea, sampai detik ini.

Aku membawa Vilea ke rumah. Pertama-tama sempat bingung harus membawanya ke mana, tapi setelah dipikir-pikir, tidak masalah kalau aku membawanya ke rumah. Toh! Sebentar lagi kami juga akan menikah, meski sempat sedikit cek-cok karena Vilea berontak minta pulang saat dia terbangun. Hei! Aku baru tahu kalau dia gadis yang keras kepala, tapi tidak masalah, itu artinya dia tidak mudah untuk didekati.

Sepekan, tinggal menunggu hari pernikahan. Semuanya sudah kupersiapkan, mulai dari undangan, tempat, gaun, souvenir dan tetek bengeknya. Aku hanya tidak mau dia pingsan lagi seperti kemarin. Bagaimana aku tidak cemas, sebelum hari pernikahan digelar, Vilea pingsan sampai masuk rumah sakit. Dokter bilang, Vilea memang ada riwayat anemia jadi ia berpesan padaku untuk tidak terlalu membuatnya banyak berpikir dan melakukan hal yang memforsir tenaganya.

Dag dig dug deg dog. Hari yang ditunggu-tunggu telah tiba. Pernikahan. Akhirnya aku menikah, meskipun lelah dan letih mendera badan selama persiapan di sana-sini, tapi semuanya seolah terbayar tatkala kedua bola mataku mendapati bidadari berbalut gaun sutra berwarna putih menjuntai panjang, perlahan-lahan berjalan menghampiriku. Vilea, sangat cantik, amat sangat cantik, mata ini seakan tak bisa lepas memandangi kecantikan parasnya. Senyum manisnya menyapa para tamu yang hadir, sungguh menawan, sedikit membuatku cemburu kala pria-pria liar itu memuji kecantikannya di belakangku.

Ketika langkahnya berhenti tepat di depanku, aku meraih sebelah tangannya, lalu berbisik, "Jelek banget." Senyumku tertahan, jahil.

Vilea balas menatapku kesal. "Siapa suruh, nikah sama orang jelek," balasnya membuang pandangan congkak.

Aku spontan tertawa lepas. Ups! Kelepasan, membuat terkejut para tamu yang hadir, sampai-sampai papa melempar tatapan galak padaku. Bukannya apa, aku malah semakin suka melihat ekspresi wajah Vilea yang kesal. Cute banget.

Setibanya di rumah, aku mendapat telepon dari nomor yang tidak di kenal (Stecya), dan satu lagi dari kampus. Mereka mengatakan kalau ijazahku belum diambil. Ya, waktu itu aku buru-buru pulang tanpa sempat mengurusnya. Dengan sangat terpaksa, besok pagi-pagi betul aku harus terbang ke luar negeri, tepat di hari pertama pernikahanku. Meninggalkan secarik kertas permintaan maaf yang kutempel di pintu lemari es.


S I KTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang