#38 PleaSE DON'T Cry

8 2 0
                                    


Angin malam berembus dingin, menusuk sendi-sendi tulang kulit yang terbuka. Tidak ada suara yang terdengar, hanya suara pepohonan rindang bergoyang sepoi-sepoi. Tubuh ini membeku, terdiam menatap terpaku, syok atas kejadian barusan, tak sanggup berkata -kata.

"Lea, sini. Tolong jaga Key," pinta Teo dengan wajah panik.

Ragu-ragu langkahku menghampiri, menggantikan posisi Teo. Duduk berjongkok, dengan kedua lengan menahan tubuh Key yang lemah.

Aku menatap sedih saat ia meringis kesakitan. "Key, kamu tidak apa-apa?" tanyaku mengusap air mata yang menitik di sudut mataku. Gemetaran, tangan ini mengusap-usap lengannya dengan hati-hati.

Senyum tipis mengembang dari bibirnya getir. "Jangan nangis. Aku tidak apa-apa," suaranya terdengar parau. Telapak tangannya menutup erat luka di pinggangnya, seakan tak ingin terlihat olehku.

Sebelah tanganku merogoh tas, bermaksud mencari sapu tangan. Tangan ini semakin terasa kebas, ragu-ragu kusingkap ujung kemejanya, menempelkan sapu tangan dengan hati-hati tepat di lukanya yang terbuka. Darah masih keluar lambat-lambat, memerah darah, menodai sapu tanganku.

Kedua belah matanya menatapku sayu. "Lea, maafkan aku. Maafkan aku. Jangan ke mana-mana, tetap bersamaku," nada suaranya terdengar getir.

Terdiam, hanya saling memandang dalam diam. Sebelah tangannya menjangkau pipiku, bibirnya hampir menyentuh ujung bibirku. Spontan kupalingkan muka culas, berikutnya terdengar derap langkah kaki manusia, mendekat cepat kemudian berhenti di depanku.

"Key, kamu tidak apa-apa?" ujar Teo bergerak menghampiri bersama dengan dua pria asing di sebelahnya, membuat kami berdua terperanjat bersamaan. Teo menggelengkan kepala pelan, memapah tubuh Key bersama dengan seorang pria yang membantu. Kami berjalan cepat menuju mobil. Aku berjalan mendahului Teo, membantunya membukakan pintu mobil lebar-lebar. Selama perjalanan, kubiarkan Key menyandarkan kepalanya di pundakku. Sebetulnya, aku merasa sedikit jengah setelah mendengar apa yang diceritakan Teo tadi.

Tiba di rumah sakit. Teo mengantar Key menuju ruang UGD, ruangan yang besar memanjang dengan tempat tidur berbaris dipisahkan tirai berwarna hijau timun.

Pandanganku mengedar, mendapati orang-orang yang terbaring tak berdaya dengan luka-luka serius, bahkan ada yang kepalanya mengeluarkan darah, seperti terkena pukulan benda keras. Teo membantu Key berbaring di atas tempat tidur pasien, sembari menunggu dokter. Tak berselang lama, datang seorang perawat membawa peralatan medis, dengan cekatan membersihkan luka Key. Kuputuskan beranjak dari tempatku berdiri, tak sanggup keadaan melihat, ketika tangan si perawat membuka kulit Key yang terbuka lebar berlumuran darah.

Key menatap, menggenggam pergelangan tanganku erat. "Mau ke mana. Jangan ke mana-mana."

Beberapa menit kemudian dokter datang, menjahit bagian luka sayatan di kulit pinggangnya yang sudah dibersihkan. "Lukanya agak dalam, istrirahat dulu saja," tutur dokter berpesan, menatap padaku.

"Kapan saya boleh pulang, Dok?" tanya Key berlagak tidak kerasan, padahal baru beberapa menit berada di rumah sakit.

"Rawai inap dulu, lukanya agak dalam jadi tidak boleh banyak gerak dulu."

"Apa saya tidak boleh pulang sekarang, Dok?"

"Coba kita lihat besok."

"Terima kasih banyak bantuannya, Dok," balasnya sembari mengusap punggung tanganku.

"Sama–sama," pamit sang dokter tersenyum ramah.

Key mendesah panjang, "Yo, pulanglah. Biar Lea yang di sini," pinta Key setelah sang Dokter berjalan ke pasien di sebelah. "Teman, terima kasih banyak sudah membantu. Maaf sudah merepotkan," ujarnya beralih memegang lengan Teo, tersenyum meringis kesakitan.

S I KTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang