Grow Up [Delapan]

52 10 0
                                    

Bab Delapan

"Jika emosi menguasi, peluklah dia. Dengan segala kekuatan yang ada di muka bumi, dia akan tenang dengan sendirinya dalam pelukanmu. Percayalah."

. . . . . .

Akibat kelakuannya kemarin, Edgar dan Erik mendapatkan skors satu minggu, sementara anak yang lain diberi 3 hari saja. Itu karena pihak sekolah menetapkan jika penyebabnya ada pada mereka berdua.

Waktu luang itu Edgar pakai untuk membantu Anita berjaga di toko, secara kebetulan ada pesanan untuk tiga pesta pernikahan, maka dari itu Anita mesti turun tangan membantu para pembuat kue.

Edgar ramah pada pembeli, menyapanya baik, jika saja Violet melihat Edgar yang seperti ini pasti akan tertawa tujuh hari tujuh malam. Sangat berbanding terbalik ketika di sekolah yang galaknya melebihi orang kesetanan.

"Gar, jemput Keyla sana, bentar lagi bubar," titah Anita seraya menata donat.

Edgar mengalihkan pandangan dari layar ponsel yang tengah ia genggam. "Okay, Bu."

Edgar itu penurut, bahkan jika ia disuruh makan nangka --makanan yang paling ia benci-- oleh Anita, dengan hati tegar ia akan menurutinya. For your information, Edgar tidak tahu jika ayahnya telah mati atau belum, lagi pun ia tidak peduli pada pria yang sudah menyakiti Anita itu.

Edgar hidup bertiga semenjak umur 6 tahun, ayahnya pergi meninggalkan mereka karena lelah hidup miskin. Lelaki berasal dari Inggris itu kembali ke negara asalnya untuk menikahi putri dari pengusaha ternama di sana. Tentu saja Edgar muak, si brengsek itu lebih memilih wanita lain dibandingkan ibunya sendiri. Karena dia Edgar menahan emosi setiap malam ketika mendengar Anita menangis diam-diam.

Motornya telah sampai di depan gerbang TK, tinggal menunggu Keyla saja yang keluar bersama rombongan anak-anak yang lain.

Di lain tempat, Violet sedang bersiap untuk pergi ke Gramedia hendak mencari buku yang ia perlukan namun, dirinya tertahan sebab, Arik yang tak setuju jika Violet pergi sendirian.

Violet memang jarang --ralat, sangat jarang bermain bersama teman-temannya, sudah terhitung terakhir kalinya ia hang out dengan anak kelasan kala masih kelas 10. Selain mengukung Violet untuk tetap belajar, Arik melarang Violet bermain-main sejak itu.

Kalau pun ada keperluan, maka Arik akan memperintahkan bodyguard untuk menjaga Violet ke mana-mana. Sekali pun mampir ke kedai es krim.

"Vio, gak papa, Yah, sendirian juga. Gak bakalan ada yang berani nyakitin deh," ucap Violet entah ke berapa kalinya, ia tertahan di depan pintu utama ketika Arik memergoki Violet mau pergi sendirian, tanpa ada yang menemani.

"Ayah gak bisa, dua penjaga akan ada di belakang kamu, ngikutin kamu ke mana pun kamu pergi. Ikuti kata Ayah, maka kamu akan selamat."

"Selamat gak selamat, kan, ada di tangan Tuhan."

"Beserta keberusahaannya, ikutin aja, jangan ngebangkang, ngerti?"

Tidak ada pilihan lain, Violet mengangguk lemah sebagai tanda setuju meski dengan keterpaksaan. Ia memasuki mobil yang di dalamnya telah ada dua pria berbadan besar terduduk di kursi kemudi dan sampingnya.

Terkadang Violet merasa lelah, ia tidak bisa hidup bebas seperti yang lain. Melakukan sesuatu sesuka hati, bercanda riang saat berkumpul di kafe atau taman wisata, saling bertukar cerita di tengah api unggun yang menyala. Violet menginginkan itu, naasnya takdir sepertinya belum berpihak kepadanya.

Sesampainya di Gramedia, Violet keluar dengan menusia kekar yang menurutinya. Hari ini Violet izin sekolah, tadi pagi ada hal mendesak yang mesti ia lakuni. Sebenarnya Violet berniat mengusir bodyguard agar menjauh dari jangkauannya tapi, ia masih mempunyai hati untuk tetap sabar. Lagi pun itu sedikit ... tidak sopan, karena mereka berada jauh di tingkat Violet.

Grow Up [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang