Grow Up [Sepuluh]

53 10 0
                                    

Bab Sepuluh

"Jadilah sesabar Cinderella, meski terus mendapat ketidakadilan dia tetap tersenyum kepada semua orang. Terlebih pada kedua saudara dan ibunya."

. . . . . .

"Pulang sekarang!"

"Tapi, Yah--"

"AYAH BILANG PULANG!!"

Panggilan terputus, lalu Violet berbalik hendak mengambil tas yang tergeletak di atas meja belajar Blaire sekalian pamit karena harus pulang lebih cepat tak sesuai rencana. Blaire mengiyakan, ia memaklumi bagaimana sikap ayah Violet kepada putrinya yang sudah jam 7 malam masih keluyuran, jika izin les tidak apa-apa.

Violet masuk ke dalam mobil merahnya, wajah cantik yang selalu ceria itu kini tertekuk murung. Segala isi pikirannya mengarah pada ayah kalau marah besar padanya. Ini pun kecerobohan Violet juga, main ke rumah Blaire tanpa ada pembertahuan. Seharusnya, kan, ayah mewajarkan, Blaire teman baik Violet. Bahkan kedua keluarga itu memiliki ikatan yang baik.

Mobil melaju pelan, Violet tidak terbiasa mengendarai dengan kecepatan tinggi, takut jika hal yang tidak diinginkan terjadi. Jarak antara rumah Blaire dengan Violet tak terlalu jauh, jadi mungkin 5 menit lagi Violet sampai di kediamannya.

Namun, ketika berbelok arah sesuatu menghantam mobilnya hingga badan luar mobil lecet panjang. Persis saat Edgar melakukan kesalahan tempo hari, hanya saja ini lebih dari sekedar goresan panjang. Melainkan agak penyok.

"Aduh, lo gak papa?" tanya Violet seraya membantu seseorang yang sepertinya pelaku dari rusaknya mobil Violet. Karena laju motor itu yang begitu cepat sepertinya membuat dia tidak melihat ada kendaraan lain yang tengah berjalan.

"Gak, gue yang salah, maaf." Helmet full face-nya terbuka menampilkan pria tampan yang di bagian dahinya terluka sedikit. Violet terkejut, tanpa sadar ia menyentuh dahi lelaki itu dengan pandangan lurus.

Tidak ada reaksi, mereka berdua sama-sama termangu matap bola mata dalam diam. Akibat deruman motor yang membisingkan membuat Violet serta lelaki itu seolah tertarik kembali ke alam nyata, tidak ada lagi sebuah lamunan.

Bergegas pria tampan itu mengenakan kembali pelindung kepala dan melesat pergi begitu sama tanpa sebuah tanggapan Violet yang menawarkan pengobatan, karena tadi tak sengaja Violet menangkap bagian lutut dia celananya sobek dan sedikit ada bercak darah. Juga lengannya agaknya terluka juga.

"Ngomong-ngomong kenapa harus gue yah yang minta maaf? Kan, dia yang nabrakin diri sampe kayak gini?" monolog Violet bingung sendiri.

Tak mau larut dalam keheranan yang tak menemukan titik terang --Violet agak sedikit bodoh jika menyangkut masalah-- Violet masuk ke dalam mobil lalu melajukan seperti biasanya. Ayah pasti sudah menunggu di rumah dengan wajah garang. Membayangkannya saja membuat Violet merinding, sampai bulu-bulu tangannya kompak ikut berdiri.

Kereta besi ukuran mininya telah terparkir cantik di parkiran keluarga Emeliand. Fyi, entah alasannya apa ayah tidak mencantumkan nama kebesaran keluarga --sering disebut marga-- di belakang nama Violet. Tapi, setahu Violet memang pihak dari keluarga ayah tidak terlalu akrab dengan keluarga kecilnya. Mungkin ada masalah serius hingga ayah tidak sudi menyelipkan Emeliand di akhir nama Violet, dan Violet ... tidak membesarkan perkara tersebut.

Langkahnya tiba di depan pria paruh baya yang berdiri tegap berwibawa di depan pintu utama. Untuk menghindari tatapan tajam ayah, gadis dengan seragam yang masih melekat di tubuhnya itu menundukan kepala supaya mengurangi ritme jantung yang kini sudah berdetak tak karuan.

Grow Up [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang