Rafa membawa Febi ke apartemennya, atau lebih tepatnya adalah kamarnya.
Dibantingnya tubuh Febi di atas kasur. Sebuah seringai terlihat mengerikan di mata Febi. Gadis itu beringsut mundur membuat Rafa menyeringai semakin lebar. Ia suka melihat wajah ketakutan gadisnya.
"Kenapa, Sayang? Takut hm?" Rafa tertawa renyah membuat Febi semakin ketakutan.
Tiba-tiba Rafa menarik kaki Febi membuat gadis itu terkejut bukan main, ia ingin memberontak saat tubuhnya terbaring dengan sempurna, tapi Rafa lebih cepat menindih tubuhnya.
"Rey, kamu mau ngapain? Lepasin hiks ...." Febi memberontak hebat. Tangisnya kian mengeras. Tubuh Rafa yang terlalu berat untuknya membuat pemberontakannya sia-sia.
"Kamu bandel, Sayang." Rafa mengendus wajah Febi pelan kemudian tertawa remeh. Dihapusnya pipi Febi yang basah oleh air dengan lembut tetapi begitu berhasil membuat ketakutan Febi berada di puncaknya.
"Jangan nangis, oke? Kita kan mau senang-senang, jangan buang-buang tenaga cuma sama air mata, mending pakai keringat." Rafa kembali berkata dengan membelai lembut wajah Febi.
"Nggak ...." Febi berujar lirih memalingkan wajahnya ke sana ke mari untuk menghindar Rafa yang hendak mencium bibirnya.
... tapi semua sia-sia. Kini, bibir Rafa sudah berhasil menempel di bibirnya membuat air mata gadis itu semakin deras tak terkira. Cukup lama, Rafa hanya menempelkan bibirnya tanpa ada pergerakan. Kedua mata Febi yang terpejam dengan dialiri air mata membuat Rafa merasa tak tega.
Rafa bangkit membuat Febi langsung membuka matanya dengan terisak-isak.
"Jangan dekat sama laki-laki lain, kecuali aku, saudara kamu, sama sahabat aku. Ngerti?" Rafa bertanya dengan suara datar dan Febi hanya mampu mengangguk, tapi siapa sangka? Itu berhasil membangkitkan emosi Rafa kembali.
"Jawab, aku! Kamu ngerti apa nggak?!" bentak Rafa membuat Febi tersentak lantas menjawab dengan cepat.
"Iya, aku ngerti."
"Bagus." Rafa membungkuk, memberikan kecupan di dahi kemudian berlalu pergi dari sana tanpa lupa mengunci pintu kamar itu dari luar.
Rafa tak mungkin tinggal diam ada laki-laki lain menyentuh miliknya. Laki-laki itu harus menerima pelajaran karena berani menyentuhnya miliknya.
***
W
aktu telah berlalu hampir satu jam, tapi Rafa tak kunjung kembali, begitu pula dengan Febi yang tak kunjung berhenti menangis sedari tadi. Jangan heran, kekuatan tangis Febi memang terlalu kuat.
Klek!
Pintu kamar terbuka, dan tatapan sang pembuka pintu langsung terpaku pada gadis yang tengah menangis dengan duduk dan sambil memeluk kedua kakinya itu. Begitu pula dengan kepala gadis itu yang ikut tenggelam di antara kedua lutut membuat sang pembuka pintu alias Rafa merasa sedikit bersalah.
"Masih nangis?" Rafa bergumam pelan dan mendekati Febi yang tampaknya tak sadar akan kehadirannya.
Febi batu mendongak saat merasakan seseorang duduk di sampingnya. "Rey ...." Bibir Febi terbuka sedikit. Rafa hanya membalas dengan senyum tipis sebelum akhirnya menarik gadis itu ke dalam pelukannya.
"Sstt ... jangan nangis lagi, Baby," bisik Rafa lembut tak lupa menghadiahi kecupan singkat di pipi Febi.
"Aku mau pulang."
Tiga kalimat yang keluar dari mulut Febi membuat Rafa berdecak sebal dan dengan kasar merebahkan tubuhnya di atas kasur.
"No! Malam ini kamu tidur di sini!" Jika Rafa dulu--saat di Bandung, harus susah-susah menculik Febi saat gadis itu telah tidur dan mengembalikan Febi saat menjelang subuh, kini, ia rasa tak perlu sesusah itu. Ya, Rafa memang kerap kali menculik Febi untuk tidur di apartemennya waktu mereka masih di Bandung.
KAMU SEDANG MEMBACA
YOU ARE MINE [On Going]
Teen Fiction"Kesalahan terbesar elo adalah udah berani ikut campur dalam urusan gua dan apa lo tau? Karna hal itu lo masuk dalam kehidupan gua dan lo nggak akan bisa keluar dari kehidupan gua apapun caranya." Reyrafa Aditama Aflastar