🌸PART TUJUH BELAS🌸

9.9K 963 57
                                    


Rafa dan Febi telah selesai makan, dan sekarang mereka tengah berjalan keluar dari kedai bakso itu.

Baru saja menginjakkan kaki di luar kedai, tampak seorang anak dengan pakaian lusuh menghampiri mereka dengan sedikit di dorong oleh teman-temannya.

Anak itu menghampiri Febi. Dengan sedikit takut, ia berusaha tak melihat Rafa.

"Kak, minta sedekahnya. Saya dari kemarin belum makan." Anak itu berkata dengan suara lemas.

Febi berjongkok untuk menyamakan tinggi badannya dengan anak laki-laki itu. "Nama kamu siapa?" tanya Febi lembut.

"Fauzi kaka," jawab anak bernama Fauzi tersebut. Ia menunduk bersiap mendapat cacian dan usiran kasar yang mungkin saja diterima.

"Di sini orangnya dua loh, Dek. Kenapa nggak minta samba kakak aja?" Rafa bertanya dengan sinis, ia kesal kenapa anak tersebut hanya berbicara pada Febi.

"Ya muka kakak serem nggak ada senyum-senyumnya. Dari wajahnya aja yang orang udah tau kalo kakak jahat," jawab anak tersebut tanpa menatap Rafa. Ia menunduk takut.

Rafa menatap jengkel anak tersebut, kenapa dia begitu jujur?

Tidak senyum bukan berarti jahat bukan?

Sementara Febi hanya terkekeh melihat wajah kesal Rafa.

"Fauzi mau makan apa?" tanya Febi.

"Mie ayam kak," jawab Fauzi antusias.

"Ini-ni, kamu makan sendiri ya. Bentar lagi hujan kakak harus pergi," ucap Rafa sambil menyerahkan lima lembar uang kertas berwarna merah.

Fauzi menatap Rafa ragu. "Beneran kak?" tanya Fauzi memastikan.

Rafa hanya mengangguk sebagai jawaban. Anak itu mengambil uang di tangan Rafa, dia mengucapakan terimakasih dengan tersenyum bahagia, sangat bahagia.

Anak tersebut berlari menjauh, ia memanggil teman-temannya untuk makan bersama.

Febi dan Rafa hanya tersenyum melihatnya.

"Ayo pulang," ajak Rafa.

"Iya."

"Ayo aku gendong." Rafa sedikit membungkukkan tubuhnya agar Febi naik kepunggungnya.

"Ha? Kenapa?" Febi bingung kenapa Rafa mau menggendongnya. Perasaan dia dalam keadaan sehat wal'afiat dan bisa jalan sendiri.

"Kamu nggak pakai sandal, Sayang. Cepat naik, sebelum aku marah sama kamu."

"Ah, iya." Febi segera menaiki punggung Rafa dengan sedikit gugup. Takut Rafa marah, makanya Febi menurut.

Di bawah gerimis yang kian deras, Rafa menggendong Febi. Dengan Febi yang berada di punggungnya, Rafa berjalan sedikit cepat. Febi bukanlah orang yang kebal terkena hujan, sedikit kena hujan saja tubuh mungil miliknya akan panas.

Febi menenggerkan dagunya pada bahu Rafa, membuat pipinya tak sengaja bersentuhan dengan pipi Rafa. Darah Febi berdesir, jantungnya berdetak lebih cepat.

'Ya Allah, ini jantung gua kenapa?'

"Jantung kamu kenapa, Baby? Kok rasanya cepat banget detaknya?" Rafa menggoda Febi.

"Ih, apaan sih, nggak kok." Muka Febi memerah, ia malu.

Rafa terkekeh, kemudian menarik tangan Febi menyentuh dadanya.

"Sama 'kan? Jantung aku juga berdetak cepat kalo deket kamu."

"Apaan sih Raf." Febi menarik tangannya, kemudian menyembunyikan wajahnya pada punggung Rafa.

Rafa hanya terkekeh, kemudian ia sedikit berlari agar tak kehujanan.

Hujan turun dengan deras ketika Rafa dan Febi telah sampai di rumah milik Febi itu.

Rafa menurunkan Febi dari gendongan. Gadis itu menatap air yang menghantam tanah. Di lubuk hati yang paling dalam, Febi ingin sekali mandi hujan.

"Kamu kenapa bengong gitu?" tanya Rafa menyentuh bahu Febi membuat gadis itu langsung terkejut.

"Ha? Oh, aku pengen main hujan," jawab Febi jujur. Toh kalo ia bohong Rafa juga akan tahu.

Rafa menatap Febi, ia menggeleng pelan saat gadisnya itu mengeluarkan puppy eyes-nya, mencoba untuk meluluhkan hatinya.

"Nggak, nanti kamu sakit. Sekarang masuk." Rafa menarik tangan Febi berjalan menuju dalam rumah.

"Tapi, Rey ...."

"Nggak! Sekali nggak, tetap nggak!" tegas Rafa tanpa penolakan. Laki-laki itu mencoba untuk menarik Febi masuk ke dalam rumah, tapi Febi malah menarik tangannya yang digenggam oleh Rafa dengan kuat hingga terlepas.

Febi berlari ke taman bunga yang berada di belakang rumahnya.

"FEBI!" teriak Rafa marah. Wajahnya merah padam, ia tak suka dibantah. Bahkan kini urat-urat di lehernya menonjol sangking marahnya. Kedua tangannya terkepal kuat. Entah mengapa, Febi sangat senang menguji kesabarannya.

Sementara saat ini Febi sudah berada di halaman belakang rumahnya. Ia mendongakkan kepalanya, menikmati setiap tetesan air hujan yang menerpa wajahnya. Ia berlari kesana kemari sambil menendang-nendang genangan air. Ia tampak sangat bahagia. Sangat jarang ia bermain hujan, terkecuali beberapa tahun yang lalu.

"Udah! Sekarang masuk." Tiba-tiba Rafa datang dan menarik tangan Febi.

"Nggak Rey, aku masih mau main hujan." Febi memegang batang pohon agar tak tertarik Rafa.

"Jangan keras kepala, Febi! Nanti kamu sakit. Lepassin pohon itu dan masuk rumah."

"Nggak, aku masih ingin main hujan."

"Jangan membuatku marah sayang, kecuali kalo kamu mau dikasari. Sekarang lepasin tangan kamu dari pohon!"

Febi menggeleng lemah, ia takut dikasari Rafa tapi dia juga masih ingin bermain hujan.

Rafa menggeram marah, ia melepaskan pegangan tangan Febi pada pohon dengan kasar. Kemudian menggendong Febi seperti karung beras.

"Turunin Rey, aku masih mau main hujan hiks ...." Febi terisak seraya memukul-mukul punggung Rafa agar menurunkannya. Rafa tak memperdulikannya, toh pukulan Febi tak terasa apa-apa.

***

Rafa menurunkan Febi di depan pintu kamar Febi.

"Sekarang masuk terus mandi!" Rafa mengusap pipi Febi yang basah oleh air hujan dan juga air mata.

"Nggak, aku mau mandi hujan."

Mendengar penolakan, rahang Rafa mengeras bahkan kedua tangannya sudah mengepal. Ia tak suka ditolak maupun dibantah. Entah sampai kapan Febi akan tau hal itu.

"Kamu mandi sendiri atau aku mandiin?" tanya Rafa dengan menekan setiap katanya. Tatapan dingin nan tajam seolah menusuk mata Febi dalam.

"Mandi sendiri." Febi memasuki kamarnya dengan tergesa-gesa, ia takut, sungguh. Percayalah, Rafa akan jauh terlihat lebih mengerikan saat memasang wajah datar.

.
.
.
BERSAMBUNG

YOU ARE MINE [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang