🌸PART LIMA🌸

18.1K 1.3K 38
                                    

Febi menjerit minta dilepaskan ketika Rafa mencengkram lengannya kuat saat ingin memasuki taxi. Bahkan, kuku-kuku panjang laki-laki itu menusuk kulitnya dengan dalam.

Rafa menarik tangan Febi dan mendorongnya untuk segera memasuki mobil. Diusapnya dahi Febi yang terbentuk dasboard dengan kuat, usapannya sangat berbeda dengan tatapannya yang sangat tajam. Ia sedikit membungkuk untuk menyamakan posisi wajahnya dan juga Febi. "Lo udah masuk ke dalam kehidupan gue, dan nggak akan pernah bisa keluar. Camkan itu!"

Febi memejamkan matanya erat ketika Rafa membanting pintu mobil dengan kuatnya. Air matanya yang sedari tadi telah keluar kini semakin deras saja. Ia menangis sesegukan, baru kali ini ia bertemu dengan laki-laki se kasar Rafa. Febi semakin merapatkan tubuhnya pada sandaran bangku ketika Rafa mendekatkan tubuhnya agar dapat dengan mudah memasangkan sabuk pengaman.

Ia ingin keluar dari mobil dan kembali berlari tapi baru saja hendak membuka pintu Rafa sudah melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Ia menangis sesenggukan. Apa yang bisa ia lakukan? Meloncat? Tidak, ia tak mau mati sia-sia.

Rafa melirik Febi sekilas, laju mobilnya ia kurangi ketika melihat tubuh Febi yang mengigil ketakutan. Tangannya bergerak untuk mengusap rambut gadisnya dengan lembut. Ia menarik kepala itu mendekat kemudian mengecupnya lama. "Nggak usah nangis!"

Febi memalingkan wajahnya, pemandangan gedung-gedung pencakar langit lebih baik untuk dilihat dari pada wajah Rafa. Air matanya tak kunjung berhenti tapi isak tangisnya perlahan menghilang. Ia memejamkan matanya erat, air mata semakin deras kala rasa rindu menusuk-nusuk hatinya. 'Aku rindu.'

Rasa rindu yang selalu menyerangnya membuatnya terkadang ingin melenyapkan dirinya sendiri, ia ingin pergi bersama sahabatnya.

Rafa menatap Febi yang sama sekali tak mau menatapnya. Tubuh gadis itu masih bergetar, ia yakin gadisnya masih menangis. "Mau turun apa nggak?" tanyanya dingin.

Febi membalikkan badannya, menatap Rafa sebentar kemudian menunduk. Ia takut lepas kendali, tubuhnya tertarik dan kemudian tenggelam dalam dekapan hangat Rafa. Ia menangis kencang, tanganya mencengkram punggung Rafa dengan kuatnya.

Rafa memeluk tubuh Febi dengan erat, mencoba memberikan gadisnya ketenangan tapi bukannya tenang, gadisnya malah semakin menangis dengan kencang. "Nggak bisa diem?" Ditangkupnya wajah Febi yang sembab, matanya menatap tajam hingga membuat gadisnya langsung memejamkan mata, takut.

Cup! Cup!

Dua kecupan hangat Rafa daratkan pada kelopak mata Febi, hingga kini bibirnya beralih mengecup bibir Febi yang merah merona. Ia tersenyum miring ketika Febi langsung membuka mata dan menatapnya nyalang, ia langsung mengunci pergerakan tangan Febi ketika gadis itu hendak berontak. "Bibir ini cuma milik gua, kalo sampai gua tau bibir ini dicium sama orang lain, jangan salahin gua kalo lo bunting sebelum waktunya."

Tubuh Febi menegang untuk sebentar kemudian kembali menangis, ia memberontak hingga tanganya terlepas dari Rafa. Dadanya naik turun, napasnya memburu, tatapannya penuh dengan kebencian. Ia mengusap bibirnya dengan kasar kemudian meludah ke sembarang arah, membuat Rafa menggeram marah.

Rafa kembali menarik tubuh Febi kemudian mencium bibir gadis itu dengan kasar. Satu tangan ia gunakan untuk menahan tangan Febi, sementara satu lagi ia gunakan untuk menahan tengkuk gadis itu agar tak bisa kemana-mana.

"BRENGSEK!" Febi mengumpat ketika Rafa melepaskan pautan bibir mereka, ia merasa seperti gadis murahan sekarang. Rafa itu bukan siapa-siapanya. Bahkan, teman saja tidak.

Febi memejamkan matanya erat ketika sebuah tamparan kembali menghantam pipinya dengan kuat, harusnya ia ingat, jika Rafa tak mau lagi mendengarkan umpatan yang keluar dari mulut manisnya.

"Jangan bicara kasar!" Rafa mencengkram rahang gadisya dengan begitu kuat. Ia marah ketika gadisnya mengucapkan kata kasar, baginya perempuan itu harus lembut.

"Ma-maaf ...." Febi berusaha melepaskan tangan Rafa dari rahangnya tapi tak bisa. Ia memejamkan matanya erat ketika rasa pusing tiba-tiba melanda kepalanya dengan begitu kuatnya, ia membuka matanya perlahan untuk menatap Rafa yang kembali mencium bibirnya. Pandangannya memburam hingga dalam hitungan detik tubuhnya sudah jatuh pingsan.

***

"Kamu nggak papa?"

Febi menatap wajah ibunya yang menatapnya khawatir dengan sayu, ia melirik ke arah pintu dan mendapati Rafa yang tengah bersandar di satu sisi pintu dengan bersedekap dada.

"Gapapa," jawabnya kemudian kembali menangis. Ia menjerit, meminta ibu dan ayahnya untuk mengusir Rafa, tapi ibu dan ayahnya menggeleng secara bersamaan.

Mengucapakan maaf lalu keluar dari kamar setelah mengecup pipi anaknya lembut, apa yang bisa mereka lakukan? Arkan--ayah Rafa adalah orang yang meminjamkan uang pada mereka saat perusahaannya diambang kebangkrutan. Dan satu lagi, mereka waktu itu juga sudah menandatangani surat penyerahan Febi kepada Rafa.

Rafa memang baru mengenal Febi, tapi ayahnya memang sudah punya rencana akan menjodohkan mereka setelah lulus SMA. Febi itu gadis periang yang Arkan anggap dapat meluluhkan hati Rafa yang beku, tapi jika Rafa menolak dia juga tidak akan memaksa karena ia tahu seberapa kasar anaknya.

Febi mengumpat dengan suara tertahan, ia duduk dan beringsut mundur ketika Rafa berjalan mendekat. Oh, Tuhan! Apa Rafa mendengar umpatannya?

"Minum!" Rafa memberikan segelas air pada gadisnya, kemudian setelah selesai ia membaringkan tubuh gadisnya dengan lembut karena gadisnya tak memberontak. "You are mine, Baby." Rafa tersenyum smirk, ia berjalan menjauh membuat Febi menghela napas syukur tapi sedetik kemudian ia langsung menjerit ketakutan ketika Rafa mematikan lampu yang berada di kamarnya.

Rafa kembali berjalan mendekat kemudian memeluk tubuh Febi dengan erat, ia biarkan Febi yang terus mengumpat. Tangannya bergerak untuk mengelus punggung Febi yang bergetar, ia tarik selimut tebal yang berada di kakinya untuk menutupi tubuh mereka, sebelah sudut bibirnya tertarik ke atas ketika Febi membalas pelukannya dengan begitu erat. Gadisnya takut gelap.

***

Ibu Febi menangis di pelukan sang suami, apa yang bisa mereka lakukan? Harusnya ia biarkan saja mereka bangkrut dari pada harus melihat anaknya menangis ketakutan seperti itu. Mereka ini orang tua macam apa?

"Maafin ayah ...." Mata mereka menangkap dengan jelas gambar Rafa yang tengah memeluk Febi dari komputer.

"Good night, Sayang." Rafa bangkit dari tidurnya setelah Febi tertidur, ia benarkan selimut yang menutupi tubuh Febi, dikecupnya kening gadis itu lama sebagai salam tidur. Ia berjalan keluar dari kamar itu tak lupa, ia juga kembali menghidupkan lampu yang berada di kamar gadisnya, takut jika gadisnya nanti terbangun dengan keadaan kamar yang gelap.

"Selamat hidup dalam kekangan Febi."

.
.
.
Tbc

YOU ARE MINE [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang