🌸PART TUJUH🌸

15.4K 1.4K 182
                                    

Vote and komen! Untuk kalian yang udah pernah baca di FB jangan spoiler dan jangan heran kalau ceritanya agak beda, karena sebenarnya gua juga lupa.

***

Bel istirahat berbunyi dengan nyaring membuat semua langsung berhamburan keluar dari kelas.

"Lu pergi duluan aja, Feb! Gua mau ke toilet dulu," kata Karin langsung berlari menuju lorong yang akan membawanya menuju toilet.

"Nggak mau gua anter?"

"Nggak usah!" teriak Karin.

Febi mengidikkan bahunya kemudian dengan segera berjalan menuju kantin yang telah ramai. Febi mendesah dalam hati saat tak menemukan bangku yang kosong satupun. Gadis itu tersenyum saat melihat bangku paling sudut belum terisi. Dengan segera ia melangkah dan duduk di sana. Rasanya malas sekali jika harus memesan makanan, jadi Febi lebih memilih memainkan ponsel dan menunggu Karin saja.

"Gila nggak ada yang online," gerutunya saat tak ada satupun temannya yang aktif di media sosial.

Kak Alang
[Kak ........]
[Ey!]
[Aktif ngapa!]
[Pen curhat nih]

Febi mempout bibirnya ketika tak mendapat balasan pesan dari kontak bernama "Kak Alang" itu. Ponsel itu kembali tenggelam di dalam saku. Febi menelungkupkan kepalanya, bosan rasanya menunggu Karin.

"Lama banget sih, Karin. Beranak apa ngapa dia di toilet?" Febi menggerutu menendang kaki meja.

Dia tak sadar jika dari arah pintu kantin Rafa tengah menatapnya tajam. Rahang laki-laki itu mengeras saat dengan kurang ajarnya seorang perempuan duduk di bangkunya. Perempuan itu pikir dia siapa berani duduk di bangkunya? Bangku yang sudah ia klaim menjadi miliknya dan juga sahabatnya. Kedua tangannya mengepal dengan kuat dengan langkah kaki yang lebar membuat Gevin dan Leon geleng-geleng kepala.

"Hajar aja, Raf! Jangan kasih ampun, nanti kalau dipanggil sama pihak sekolah, tenang aja, gua yang paling belakang, Gevin paling depan," kata Leon membuat kepala Rafa menoleh dan mengacungkan jari tengah pada laki-laki itu.

"Mending hajar Leon aja, Raf! Mana tau kalau dia jadi jelek ada cewek yang mau sama dia."

Jadi sahabat Rafa itu ada enaknya ada tidaknya. Enaknya, jika mereka berbuat masalah sebesar apapun di sekolah tidak akan pernah di keluarkan dan semua orang di sekolah ini juga patuh padanya. Tidak enaknya, sangking takutnya mereka, nggak ada yang mau jadi pacar. Bayangin, Guys! Wajah setampan mereka nggak ada yang mau, setiap di deketin langsung lari, di-chat nggak dibales. Mepet dikit langsung wuss ... terbang ke langit ke tujuh.

Gevin geleng-geleng kepala meratapi nasibnya. Udah hampir kelas dua belas, ia masih jomblo nggak pernah pacaran. Leon pun sama, sama-sama jomblo. Awalnya mereka bertiga jadi sahabat yang paling kompak. Kompak jomblo setelah seperkian tahun lahir di dunia, tapi ternyata oh, ternyata ... Rafa keluar dari zona nyaman. Laki-laki malah pacaran lebih dulu, mana caranya maksa lagi. Untung yang di paksa bukan Gevin, coba kalau Gevin. Sudah ia tembak kepala Rafa.

Gevin menepuk kepalanya pelan. "Ogah juga dia ama lu, Vin!"

Leon berhenti di tempat yang tak jauh dari Rafa. Dengan sangat serius ia menghitung memperkirakan tangan Rafa mendarat di atas meja dengan kasar. "Satu ... dua ... ti ... ga!"

Brak!

Leon menyunggingkan senyum bangga. "Udah pinter gua itung-itungan," ujarnya menepuk dada bangga.

Febi yang sama sekali tidak kaget mengangkat kepalanya dengan "santuy". Baik Rafa maupun Febri sama-sama tampak terkejut, tapi setelah seperkian detik, wajan Febi berubah tegang sementara Rafa menyeringai. Seluruh penghuni kantin dengan sedikit keberanian mulai menatap kedua sejoli itu. Mereka berperang dengan pikiran. Rafa akan menghajar Febi atau tidak?

"Sudah lama menunggu, Sayang?" Rafa segera mendorong tubuh Febi kit saat perempuan itu berdiri hendak kabur.

Tangan Febi basah oleh keringat. Ia menatap Karin yang sudah berdiri di belakang Rafa dengan wajah paniknya. Lewat sorot mata Febi meminta bantuan Karin, tapi apa yang bisa Karin lakukan? Gadis itu tak dapat berbuat apa-apa. Lagian sih, kenapa Febi duduk di bangku Rafa?!

"Gu-gua mau ke kelas. Eh, maksudnya, aku mau ke kelas," kata Febi sedikit meralat perkataannya. "Lagian aku nggak lagi nunggu kamu," katanya lagi kembali bangkit tapi Rafa kembali mendorongnya.

Laki-laki itu ikut duduk di samping Febi dengan tubuh yang sangat mepet membuat Febi refleks bergeser. Geser terus sampai ujung karena Rafa juga ikut bergeser. Geby mendengus saat sudah berada di pojok. Dengan keberanian yang tinggal sedikit, Febi mencoba mendorong Rafa dengan hati-hati.

"Geser, Rey! Sempit nih, aku mau ke kelas juga," katanya membuat Rafa menarik satu sudut bibirnya.

"Nanti aja ke kelasnya, makan dulu. Aku tau kamu bekum makan."

Karin menepuk dahinya menyadari kebodohan Febi. Jika sudah dipojok bagaimana Febi bisa kabur? Itu bangku paling sudut loh! Nggak bisa keluar tanpa melewati Rafa dulu. Kok Febi bodoh sih?! Akh! Karin ingin berteriak rasanya.

"Mepet teros kayak perangko," kata Gevin mengambil tempat duduk di depan Febi yang tampak dilema.

"Jomblo dilarang iri!" kata Leon menarik tangan kyarin untuk duduk di sampingnya. Mana tahu jodoh ya, 'kan? Mana tau aja nempel cintanya Karin di hatinya. Masa iya udah tujuh belas tahun dia jomblo, kagak laku.

"Eh!" Karin kaget dong ya. Main tarik saja.

"Ngomong satu kata satu ciuman," kata Leon memberi tahu Karin membuat gadis itu langsung menyipitkan matanya yang memang sudah sipit.

"Melek, Rin! Melek!" kata Gevin ngegas kemudian menatap Febi yang tampak sangat-sangat tidak nyaman saat tangan Rafa dengan kurang ajar merangkul bahunya.

"Nggak usah berontak terus atau mau aku tampar lagi?" Rafa menggeram saat Febi mulai memberontak melepaskan rangkulannya.

"Ssst ... sakit." Febi meringis saat tangan Rafa mencengkram bahunya. Rafa pun melepaskan cengkeramannya dan mengelus bahu itu lembut.

"Mau makan apa? Bakso?" tanya Rafa yang hanya diangguki oleh Febi.

"Le," panggil Rafa pada Leon yang sibuk menarik kelopak mata Karin agar terbuka. Mata kok nggak nampak? Ia menggerutu di dalam hati.

"Apa? Mau neraktir gua? Gua terima dengan baik. Apa? Mau pesan apa? Bakso? Mie ayam? Nasi goreng? Lontong sayur? Atau jodohnya Gevin yang lagi nyasar?" tanyanya langsung bangkit dan memesan makanan sebelum Rafa menjawab pertanyaannya.

Dia mah, pakai feeling aja. Kau feeling-nya salah, ya berarti dia lagi beruntung. Rafa nggak mau makan, perutnya siapa menampung. Hidup nggak usah dibuat pusing! Santai aja.

Febi menatap Leon tanpa kedip kemudian lebih memainkan kembali ponselnya untuk menetralisir rasa gugup bercampur takut. Bibirnya menyunggingkan senyum saat melihat balasan pesan dari teman-temannya yang berada di Bogor. Mata Febi melotot tajam saat dengan tidak berperasaannya Rafa merebut ponsel itu dan melemparkannya dengan kuat.

"HP gua ...."

"Udah kamu putusin pacar kamu?" Rafa menatap Febi tajam. Gadis itu menggeleng takut. "Ini peringatan terakhir, cepat putusin pacar kamu atau aku hamili kamu."

"WHAT! BERDOSA LU RAF!" teriak Gevin.

.
.
.
TBC


YOU ARE MINE [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang