"Berhenti!" Rafa berteriak sekuat-kuatnya, menyuruh sang supir taksi untuk menghentikan laju mobilnya. Namun, sepertinya hari ini terlalu banyak orang yang ingin membangun amarahnya. Sang supir itu tak menghiraukan teriakannya membuat geraman keluar dari mulut Rafa.
"Berhenti! Atau gue lempar pakai helm!" Rafa kembali berteriak. Ancaman ia berikan tapi masih tetap tak dihiraukan.
"Bangsat!" Umpatan akhirnya keluar secara spontan dari mulut Rafa saat tak bisa lagi membendung amarahnya, dan ternyata, sebenernya sang supir di dalam sana juga sudah ketakutan dan hendak menghentikan taksinya, tapi sang penumpang melarang.
"Gimana nih, Neng?" tanyanya untuk kesekian kalinya. Wajahnya tampak pucat lantaran rasa takut yang semakin menjadi.
"Lanjut aja," jawab Febi berusaha tenang walau dalam hati dia gelisah.
"Berhenti!" Rafa kembali berteriak, dia sudah tak tahan lagi. Helm di tangannya sudah siap untuk dilemparkan ke kaca mobil membuat sang supir yang melihatnya tak punya pilihan lain. Ia mengerem secara mendadak.
"Kok berhenti sih, Pak?" protes Febi merasa terancam.
"Saya nggak berani, Neng."
"Tap---"
Belum selesai Febi berucap. Pintu mobil tiba-tiba sudah dibuka secara kasar oleh Rafa. Febi menatap Rafa panik. Tangannya langsung saja ditarik oleh Rafa agar segera keluar.
Mencoba melawan rasa takut, Febi menghentakkan tangan Rafa kasar kemudian berjalan menjauhi Rafa. Namun belum genap lima langkah Febi sudah ditarik oleh Rafa, dan pergerakannya dikunci oleh dekapan Rafa.
"Ngapain masih di sini?" tanya Rafa pada supir taksi yang masih setia di tempatnya.
"Anu, Mas ...." Sang supir tampak ragu untuk mengatakan kemauannya membuat Rafa memutar bola mata jengah.
Laki-laki langsung mengeluarkan dompetnya yang tebal, kemudian mengeluarkan selembar kertas berwarna merah.
"Pergi!" usirnya tak ingin basa-basi. Maniknya menatap supir taksi itu dengan tajam. Melalui tatapan matanya ia memberikan ancaman, jika dalam hitungan detik pria itu tidak pergi, akan ia hajar habis-habisan.
"Tap---"
"Pergi!" Rafa mengulangi penuh penekanan.
Sang supir yang sudah sangat ketakutan memilih untuk segera pergi. Di sini ia adalah seorang pria yang mencari nafkah, ia tak ingin ikut campur hingga membuatnya terancam nantinya.
Sementara Febi nampak tidak tenang. Dia berusaha menenangkan diri namun sulit. Matanya terus menatap ke sana ke mari, enggan menatap mata tajam Rafa yang merupakan sumber kelemahannya.
"Febi ...." Rafa menggeram tertahan, tak suka pada Febi yang benar-benar tak ingin menatapnya. Ia memegang dagu gadis itu, memaksa Febi untuk menatapnya. Namun dengan kasar Febi menepisnya membuat amarahnya berada di ubun-ubun. Mood-nya sedang tidak baik sekarang.
"FEBIANA!"
Febi langsung menundukkan kepala mendengar bentakan Rafa. Air matanya seolah tak ingin telat, tetesan air matanya sudah jatuh tanpa bisa dicegah. Hatinya bertambah sakit saat Rafa membentaknya lagi.
"Sial!" Rafa mengacak rambutnya kasar. Ia frustasi. Melihat Febi yang langsung menunduk saat ia bentak membuat ia menjadi merasa bersalah. Ia menghela napas kasar. "Tatap aku." Ia berusaha meredakan api amarah dalam jiwa. Walau semuanya salah Febi. Gadis itu yang tak bisa mengerti suasana hatinya. Jadi ia tidak salahkan jika lepas kendali dan berakhir membentak Febi.
Febi tetap keras kepala. Ia menepis tangan Rafa yang hendak mengangkat dagunya. "Nggak mau." Ia menggeleng pelan.
Rafa memejamkan matanya, berusaha meredakan emosi yang benar-benar siap meledak. Tak mau basa-basi lagi, ia langsung saja menarik tangan Febi untuk mendekati motornya.
KAMU SEDANG MEMBACA
YOU ARE MINE [On Going]
Teen Fiction"Kesalahan terbesar elo adalah udah berani ikut campur dalam urusan gua dan apa lo tau? Karna hal itu lo masuk dalam kehidupan gua dan lo nggak akan bisa keluar dari kehidupan gua apapun caranya." Reyrafa Aditama Aflastar