"Ck, Rafa mana sih?" Febi menunggu Rafa, tapi Rafa tak kunjung datang. Padahal bel pertanda pulang sudah berbunyi sejak sepuluh menit yang lalu. Entah mengapa laki-laki tak kunjung tiba di hadapannya."Apa gua ke kelasnya aja ya?" gumam Febi sedikit berpikir. "Ya udah deh gua kesana aja," putus Febi. Ia lalu berjalan menuju kelas XII IPA¹, di mana kelas Rafa berada.
Pintu kelas Rafa tertutup, tapi sedikit terbuka. Tadi ia juga banyak menemui anak kelas dua belas IPA satu berpas-passan dengannya. Mungkin baru saja keluar dari kelas. Kemungkinan Rafa masih berada di dalam kelas.
Tanpa banyak berfikir lagi, Febi membuka pintu itu.
"Rey ..." Ucapan Febi terhenti ketika melihat Rafa bersama Alya. Mereka memang tak berdua masih ada Langit, Leon, dan Gevin tapi jarak mereka ... sangat dekat. Entah mengapa hati Febi memanas melihat itu. Ia tak ingin menangis sekarang saat sadar ia cemburu dengan sangat tidak elit. Belum tentu kan mereka ada hubungan apa-apa atau sengaja dekat-dekatan.
"Febi!" Rafa sendiri terkejut dengan kehadiran Febi. Bukan apa-apa, ia takut gadis itu salah paham, tapi Alya terlihat sangat santai, seolah inilah yang ia tunggu-tunggu.
Tanpa kata lagi, Febi menutup pintu secara kasar. I berlari keluar gedung sekolah dan berakhir duduk di halte bus. Terdengar gila dan terlalu pencemburu mungkin. Ia tak mampu lagi menahan isak tangisnya
Sebisa mungkin ia menahan tangis. Namun ia tak mampu hingga ia sudah terisak cukup kuat. Jalanan yang lengang membuat rasa malu sudah tidak ada lagi di diri gadis itu."Woy! Lo kenapa? Nangis?"
Mendengar suara laki-laki, Febi mengalihkan pandangannya pada orang yang tengah bertanya padanya itu.
"Febi menghapus air matanya kasar. "Nggak, gua lagi tertawa," jawab Febi sarkas.
"Oo ... lagi tertawa, gua kira nangis." Fean mangguk-mangguk paham membuat Febi kesal bukan main.
"Fean goblok!" teriak Febi kesal.
"Santai kali, Mbak." Fean mengusap-usap telingannya.
"Tau ah, sana pergi lo!" usir Febi dengan nada ketus.
"Yakin lo? Tengok itu deh!" Fean menunjuk tiga orang preman yang tak jauh dari mereka.
Febi terkejut ketika melihat 3 preman tersebut, sejak kapan mereka ada di sana seingat Febi tadi tidak ada orang.
"Yakin mau gua tinggal? Ya udah deh gua pergi dulu," ucap Fean kemudian berbalik hendak meninggalkan Febi.
"Fean!" Febi menarik Fean kuat hingga Fean terduduk di sampingnya.
"Gede juga tenaga lo," ucap Fean saat tubuhnya tertarik begitu kuat.
"Lo aja yang kurus, makanya gampang ditarik."
Fean cengo, padahal badan dia itu bagus dan tak kurus. Dan apa tadi Febi bilang? Kurus? Rabun memang.
"Fe," panggil Febi.
"Hm." Fean menyahut malas.
"Lo nggak mau nganterin gua pulang?" tanya Febi.
"Ogah gua." Jawaban yang sangat tidak sesuai dengan ekspektasi.
"Tega amat lo." Harapan Febi pupus suaranya jadi lesu membuat Fean menghela napas, kemudian menatap Febi.
"Gua tu mau aja nganterin lo pulang, cuma masalahnya pacar lo tu. Yang ada nanti gua yang digebukin," ucap Fean membuat Febi kembali teringat saat Fean dihajar oleh Rafa.
"Emm, tapi ngomong-ngomong Rafa mana? Kok lu di sini?"
"Tauk," sahut Febi acuh tak acuh. "Terus ngapain lo di sini?" tanya Febi. Ia melirik Fean sinis.
KAMU SEDANG MEMBACA
YOU ARE MINE [On Going]
Teen Fiction"Kesalahan terbesar elo adalah udah berani ikut campur dalam urusan gua dan apa lo tau? Karna hal itu lo masuk dalam kehidupan gua dan lo nggak akan bisa keluar dari kehidupan gua apapun caranya." Reyrafa Aditama Aflastar