"Aku bertikai dengan kalbu, terusung rasa tak mampu menunggu,"
_Bara_
Terkapar lemas di sudut ranjang kamar tamu, matahari baru naik sepenggala. Dia belum memakan sesuap nasi sedari tadi, dadanya mulai sesak namun pekerjaannya belum selesai. Ada empat kamar yang belum ia selesaikan, Bara merambat tembok hendak meraih obat yang ada di kamarnya sambil menunggu orang-orang di rumah itu lengah. Berhasil keluar dari kamar, dia istirahat di tembok luar kamar beberapa saat lalu lanjut merambat hendak ke kamarnya. Pino datang dari lantai bawah melihat Bara sedang merambat dan langsung melempar kayu di tangannya tepat di mengenai tubuh Bara.
"Aaarrgghh!" Erang Bara tersungkur memegangi perutnya yang terkena serangan.
"Dasar nakal! Mau kemana kamu, apa tugas dari nyonya Ayessa sudah kamu kerjakan?" ucap Pino menghampiri Bara.
"Belum, aku hanya mau minum obat. Arrggh!" Jawab Bara lirih namun masih bisa di dengar oleh Pino.
Menyambar keras hoddie Bara, Pino mendekatkan wajah Bara dengan wajahnya. Terdapat kilatan amarah di kelopak matanya sementara Dia melihat tumpukan lara di kelopak mata Bara namun seorang Pino tidak pernah memiliki rasa iba, dia malah senang dengan keadaan Bara sekarang. Dengan mudah dia akan melenyapkan Bara dari dunia ini.
"Kerjakan dulu pekerjaanmu! Lalu berbuatlah sesukamu," gertak Pino menjatuhkan Bara dari cengkeramannya lalu pergi begitu saja.
Merangkak mencari tumpuan berjalan Bara berjalan tertatih-tatih hendak membereskan tugasnya, dia sesekali memegangi dadanya yang kerap sesak. Perutnya keram diikuti dengan munculnya rasa sesak di dada, tubuhnya seakan tumbang dan tidak mampu lagi membersihkan kamar namun jika tidak di bersihkan maka dia akan mendapat hukuman. Beberapa saat berlalu, akhirnya pekerjaan Bara selesai. Dia terkulai di lantai kamar karena sudah tak sanggup untuk merambat ke karpet.
Nafasnya tersenggal-senggal, tatapannya kabur namun dia masih bisa melihat teman Pino datang memberikan makanan padanya,itu makanan sisa sarapannya Ayessa yang tidak habis. Ya begitulah, Bara tidak pernah mendapatkan makanan baru semenjak di bawa ke rumah ini. Temannya Pino itu pergi, Dia beranjak meraih sendok dan melahap beberapa sendok makanan yang di dapat. Obat di atas lemari pendek di raihnya lalu meminumnya sesuai resep.
Kedua matanya terpejam cukup lama. Dua jam berlalu, Bara membuka matanya pelan beranjak berdiri dengan menempelkan tangannya di tembok. Dia berjalan menuju belakang rumah lantai atas hendak mengangkat jemuran yang mungkin sudah kering, membuka lebar jendela kaca panjang nan tinggi di tutupi gorden berwarna hijau daun. Bara menghirup udara segar, dia meraih jemuran yang sudah mengering.
Tanpa sengaja dia melihat Cahaya yang duduk di bawah pohon memandanginya lama, Cahaya nampak melambai-lambaikan tangannya ke arah Bara. Membuang napas sebal, dia mengambil tali yang ada di sudut pagar lalu di lemparkan hingga mejalar ke bawah. Menaiki pagar, turun dengan bantuan tali yang di julurkan tadi hingga sampai di teras. Dia berjalan mendekati Cahaya yang mulanya di bawah pohon, sekarang ada di seberang jalan rumahnya.
"Bara," sapa Cahaya mengulurkan senyum manisnya.
"Hm?" Jawab Bara dingin menundukkan kepalanya.
"untuk kedua kalinya aku meminta kamu untuk menjadi kekasihku, aku sangat mencintaimu Bara. Aku akan menjagamu dan memberimu kebahagiaan seperti yang kamu inginkan," pinta Cahaya menarik lengan Bara lalu menggenggamnya.
"Dengan begitu semua masalah akan selesai? Aku tidak bisa membuatmu bahagia, sungguh. Bukannya kamu tau aku ini selalu di siksa bahkan tak lagi memiliki kesehatan? Apa kamu tidak memikirkan suatu kerugian di dalamnya? Terkadang hati perlu berhenti menekan diri agar diri tak lagi merugi," tutur Bara panjang lebar berdiri membelakangi Cahaya.
Mendengar itu, mulut Cahaya terbungkam seakan tidak bisa di buka seperti sedia kala. Dia kagum dengan jawaban Bara kali ini. Sungguh, baru kali ini dia menemukan orang bijak namun tidak pernah menunjukkan kebijakannya, dingin dan tidak peduli itulah yang dia terima selama ini. Bara sudah kembali masuk ke dalam rumah namun Cahaya enggan mengalihkan pandangannya, namun tak berselang lama dia yang sempat melamun langsung tersadar.
Baru menutup kaca panjang bergorden hijau sambil membawa keranjang yang berisi pakaian bersih di salah satu tangannya, Bara sudah di tunggu Pino di gang belokan hendak ke kamar. Dia sudah tau apa yang terjadi di luar dan dia sudah adukan semuanya pada Ayessa, Ayessa memerintahnya untuk menyiksa Bara sepuasnya. Dengan senang hati Pino menjalankan perintah Ayessa. Saat Bara berlalu di depannya, dia langsung menghalangi Bara dengan merentangkan tangannya.
"Dua puluh menit, selama itu kah orang mengambil jemuran? Kamu telat lima belas menit dan harus di hukum!" Gertak Pino menarik Bara kasar ke ruang hukuman yang letaknya tak jauh dari situ.
Memasan borgol di tangan dan kakinya di kunci dengan borgol manual, Bara tidak bisa bergerak. Bara di tampar pipinya kiri dan kanan berkali-kali hingga lebam membiru, Pino seakan melampiaskan amarahnya pada Bara namun dia tidak akan puas kalau Bara tidak memgerang kesakitan, kali ke dua puluh. Bara mengerang hebat seperti ada yang memukulnya lebih keras dari pukulan Pino.
"Aarrghh!" Teriak Bara mengerang hebat. Pipinya perih, perutnya keram di iikuti dengan dadanya sesak, sakit itu bercampur dalam tubuh Bara yang sudah lelah di hajar Pino.
Puas dengan tamparannya, Pino melepas borgol dari tangan dan kaki Bara lalu membalikkan tubuhnya dengan kasar, dia mengambil cambuk yang siap menyiksa punggung Bara yang mulai memudar lukanya. Entah ini orang atau iblis, dan rumah ini seakan neraka bagi Bara. Pino mencambukkan dengan hentakan yang keras di punggung Bara dan itu terus di ulang hingga puluhan kali, kali ke tiga puluh. Bara mengerang lalu kejang dan pingsan.
"Aarrrgghh!" Erang Bara lebih keras dari yang tadi lalu tubuhnya kejang dan langsung pingsan.
Melihat itu, Pino menghentikan aksinya. Dia mengecei denyut nadi Bara karena takut terjadi apa-apa dengannya, merasakan denyut nadi yang tidak beraturan. Pino menarik napas lega dan beranjak pergi dari ruangan itu tanpa rasa bersalah, Bara terkulai lemah di lantai tidak ada yang menolong. Beberapa saat kemudian, kedua mata Bara pelan-pelan terbuka melihat sekitar, dia masih di tempat yang sama. Dia kembali di hujam beribu rasa sakit di tubuhnya.
Perih, keram dan sesak beetumpuk menjadi satu di dalam tubuh Bara, rasanya seperti semua tulang di retakkan secara bersamaan. Dengan menyeret kaki, dia hendak ke kamarnya mengobati luka yang bertambah parah. Sekarang malah menjalar di lengannya, pipinya membiru membuat biburnya pucat pasi menahan sakit yang tidak bisa di ungkapkan dengan kata-kata.
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
Bara [END] OPEN PO
JugendliteraturBara Adi Cahyana seorang cowo pendiam namun misterius ini selalu membuat temannya merasa aneh padanya, ada yang menganggapnya pembawa sial sebab bila bertemunya akan terkena sial itu hal yang lumrah. Dia pendiam dan selalu berkeliaran ketika malam...