Beribu orang menantikan kepergianku, padahal disini aku memperjuangkan hidupku.
-Bara-
Di sudut tembok kantin, Bara duduk di lantai sambil selonjorkan kedua kakinya. Entah ia memikirkan apa namun dari sorot matanya, kelihatan memiliki banyak masalah. Salah seorang cowo yang memukul kaki Bara waktu itu datang lagi.
Ia namanya Adi, dia datang bersama ketiga temannya yang membuntuti di belakang.
"Woy. Pembawa sial! Sini lo," teriak Adi dengan nada menantang.
Bara beranjak berdiri menghampiri Adi yang tak jauh dari tempat ia duduk.
"Ada apa?" Bisik Bara lirih namun masih terdengar.
"Ha? Apa? Gak kedengeran tauk. Lo tu cowo apa cewe sih lembek amat, udah suara lirih trus pembawa sial lagi," umpat Adi membully sambil mendorong Bara ke belakang.
"Sen, ambil tas item kumel dan dekil di meja itu trus bawa ke sini," suruh Adi pada Arsen.
Arsen membawa tas ransel hitam milik Bara kepada Adi. Adi memegang tas itu, isinya satu persatu di lemparkan ke arah Bara.
Buku, tempat minum, perban, obat luka dan lilin semua berantakan di lantai. Adi melemparnya sambil tersenyum miring.
"Huh! Ransel apa ini? Isinya udah kayak petugas pmi aja. Tuh ransel lo, ambil gih," umpat Adi melempar ransel Bara ke atas pohon.
"Haha, gimana mau jadi pmi Di. Teriak aja gak bisa," sahut Arsen terkikik pelan.
"Dahlah, kita pergi. Ngapain lama-lama ama pembawa sial itu," ajak Adi meninggalkan Bara.
Adi bersama dengan ketiga temannya meninggalkan Bara. Bara tertatih tatih mulai mengambil semua barangnya yang berantakan di lantai lalu di masukkan dalam ransel.
Saat mulai mengambil satu persatu barangnya di lantai, ada seorang cewe yang lewat dengan seragam ketat menyandung kaki Bara yang hendak berdiri. Bara tersandung dan jatuh ke dalam selokan yang banyak limbah. Alhasil celana Bara kotor sedangkan baju sebagian juga kotor.
"Bwahaha, sorry ya gak sengaja," Ucap cewe itu berjongkok lalu menyentuh limbah itu.
"Nih gue tambahin biar makin ganteng ya tong, okey gue pergi dulu babay," ucap cewe itu mengusapkan limbah di tangannya ke jidad Bara lalu ia pergi begitu saja.
Cahaya yang melihat kejadian sedari tadi perlahan meneteskan air mata yang membasahi pipi merahnya, bisa-bisanya Bara hanya terdiam ketika dia di bully dan di permainkan.
Cahaya memejamkan matanya sekejap untuk tidak terlalu terbawa oleh apa yang ia lihat. Ia hanya bisa berdoa semoga Bara nantinya akan menjadi cowo yang tetep misterius namun kuat dan tak mudah terbawa arus.
Sementara itu, Bara beranjak naik ke atas selokan. Membereskan barangnya yang berserakan lalu ia ke toilet.
Di toilet, Bara membersihkan bajunya dengan tisu. Untung saja hari ini dia membawa baju olahraga yang menempel pada ransel. Usai itu Bara naik ke tembok toilet yang cukup tinggi dan duduk menunduk di atasnya.
Dengan begitu, Bara merasa berkawan dengan langit yang ceria bersama matahari yang tak pernah pudar cahayanya.
"Orang gila," umpat salah seorang yang lewat melihat Bara yang tetap saja mengikat luka di dahi, dengkul dan sikut.
Pulang sekolah, Bara ke pasar dan bekerja seperti biasanya. Sepi hanya di penuhi daun yang berguguran, itulah tempat parkiran yang Bara pegang. Tidak ada satu pun yang mau parkir pada Bara, entah ulah siapa ini.
"Pak silahkan parkir pak," tawar Bara pada bapak-bapak paruh baya yang lewat.
"Gak mau lah dek, nanti motor saya lecet kaya punya orang kemaren. Dan kata ayah kamu juga kamu ngilangin motornya, ntar motor saya hilang," tolak Bapak itu rinci.
Mendengar itu Bara menunduk sedih, bagaimana bisa. Ayah yang selalu menyiksa ia kini mengambil juga pekerjaannya.
Saat sore datang, Bara pulang kembali membawa uang recehan yang ia dapat dari mengangkat barang orang-orang di pasar. Sampai di rumah, Bara tak langsung masuk namun duduk di teras.
Liora yang sedang menyapu halaman langsung saja duduk di samping Bara.
"Mana uang hasil hari ini? Ibu lagi mau makan ayam," pinta Liora kasar sambil menegadahkan tangan.
"Hari ini cuma dapet segini, maafin Bara bu," ucap Bara mengeluarkan uang recehan dari sakunya.
"Apa ini? Buat beli secuil kerupuk aja kurang,sekarang kamu cari uang lagi yang banyak sana! Kalo belum dapet uang yang banyak jangan pulang!" ucap Liora mendorong Bara hingga terjatuh ke tanah.
"Iya bu," jawab Bara lirih.
"Bu aku ini manusia bukan kuda yang bisa bekerja sepanjang masa, aku lelah. Aku cape dengan semua ini bu. Hatiku hancur berkali-kali terluka dan bisa-bisanya kau menganggap aku mati rasa," gumam Bara membatin.
Bara masih terkulai di tanah yang di tumbuhi rumput, dengan melamunkan sesuatu yang tak mudah di tebak.
"Woy! Ibu tadi suruh kamu cari uang bukan ngelamun disitu. Anak pembawa sial ya kamu, sana pergi!" Bentak Liora membawa sapu di tangannya.
Bara perlahan pergi menyusuri kompleksnya yang cukup besar, ia bingung mau berbuat apa sekarang. Lapak parkirnya gak bisa di harapkan, angkat barang pun juga bukan andalan. Bara duduk di pos ronda, tiba-tiba ada yang datang.
"Hey kamu, ngapain di situ?" Sapa seorang lelaki paruh baya pada Bara.
"Ini pak saya bingung mau ngapain. Tadi ibu saya sedih gak bisa bayar hutang dan saya pulang gak bawa uang yang cukup makannya saya duduk di sini untuk berfikir. Mungkin bapak bisa bantu saya?" Tanya Bara dengan nada suara jelas.
"Aku harus berbohong demi ibuku yang gak pernah menyanyagiku, aku harap ibu cepat sadar dari otak jahatnya itu. Aku rindu ibuu," jerit hati Bara bergumam sambil menitikkan air mata.
"Maaf di perusahaan bapak tidak menerima karyawan yang dekil dan kumal sepertimu," umpat Bapak itu lalu pergi begitu saja.
Bullyan kembali terlontar dengan cepat tanpa ada pertimbangan kemanusiaan dari orang lain untuk Bara, titik air mata tadi meluncur menjadi air mata yang cukup deras, sesampah itukah dirinya?
Malam tiba diiringi Hujan deras dan petir yang menyambar-nyambar. Bara ketiduran di dalam pos ronda sebab kelelahan yang menumpuk.
Para petugas keamanan yang datang ke pos ronda bergidik pelan melihat Bara yang tidur di situ.
"Eh kamu, bangun! ... bangun!" Teriak Bapak itu menggoyang-goyang lengan Bara.
Bara yang mendengar itu pelan-pelan membuka matanya melihat seorang lelaki paruh Baya berdiri di depannya membawa senter dan tongkat atom.
"Ada apa pak?" Tanya Bara mengucek-ucek matanya.
"Kamu ini gimana, pos ronda bukan rumah singgah yang bisa kamu tiduri kapan saja, sana pergi," usir Bapak itu menarik tangan Bara keluar dari pos Ronda.
Di tengah hujan yang lebat Bara menangis di bawah pohon besar sambil menekuk lututnya, ia meratapi betapa buruk nasibnya yang kini mulai menghabisi nyawanya.
Bersambung

KAMU SEDANG MEMBACA
Bara [END] OPEN PO
Teen FictionBara Adi Cahyana seorang cowo pendiam namun misterius ini selalu membuat temannya merasa aneh padanya, ada yang menganggapnya pembawa sial sebab bila bertemunya akan terkena sial itu hal yang lumrah. Dia pendiam dan selalu berkeliaran ketika malam...