Part 13. Bara sakit

178 11 1
                                    

"Akan setinggi apa lagi deritaku? Aku cukup tersungkur apa kini akan terjun ke curam yang dalamnya tak terukur?"

                       -Bara-

Sore ini setelah pulang dari bangunan, Bara langsung ke kamar. Ia tumbang di atas kasur dengan keadaan badannya yang menggigil, suhunya tinggi dan raut mukanya pucat. Ia hanya bisa menutupi tubuhnya dengan selimut tipis yang ia pakai setiap malamnya.

Kini tidak ada harapam lagi untuk ia bisa bekerja, ia hanya bisa pasrah pada sesiapapun yang mau merawatnya nanti.

"Baraa!" Panggil Liora dari arah dapur dengan suara nyaringnya.

Tidak ada jawaban dari Bara membuat Liora semakin geram, ia berjalan cepat menuju gudang. Sampai di gudang , Liora mendobrak pintu kasar dan masuk ke dalamnya melihat Bara yang menggigil tak karuan.

"Heh Lembek! Enak aja kamu malah tiduran, kerjaan numpuk tuh. Sana kerjain," bentak Liora pada Bara yang menggigil menatapnya.

"I--ibbu aaku sa--kiit bu," ucap Bara terbata-bata.

"Apa? Sakit? Ya ampun lembek, kamu cuma nambah beban aja ya! Udah tau kita ini butuh makan, kamu malah sakit," jawab Liora menatap Bara tajam.

Liora membanting pintu kasar meninggalkan Bara sendirian. Bara beranjak mengambil handuk dan air yang ada di ranselnya lalu ia pasang di dahinya.

"Kenapa aku memiliki kehidupan yang seperti ini? Ibu datanglah dan peluk aku supaya menjadi obat penyakit serta rinduku," gumam Bara meluncurkan air mata.

Usai itu Bara tidur hingga pagi, ia tidur nyenyak malam itu walaupun badannya tidak enak. Ia sepertinya sangat kelelahan karena kerja tak pernah istirahat.

Saat pagi datang, Liora membawa air segayung di bawa ke gudang lalu ia siramkan pada muka Bara dengan kasar. Hal itu membuat Bara terlonjak dan kembali menggigil.

"I--ibu, ddiingin," rintih Bara sambil duduk.

"Dingan dingin! Kamu jangan kernakan ya kamu disini. Cepat sana  beresin semua kerjaan rumah habis itu kerja, ibu gak mau denger alasan apapun dari kamu!" Teriak Liora pada Bara.

"Kkalii iiini B--bbara gak bisa bu, bbbadan bbbara ssakit ssemuua," jawab Bara bergetar.

"Alah alasan aja kamu, jadi orang itu jangan jadi beban keluarga! Sini," gertak Liora menyeret Bara keluar gudang sampai ke dapur.

"Beban keluarga banyak yang menjadi Raja tapi aku hanya di jadikan budak tanpa rasa karsa manusia," gumam Bara dalam batin sambil batuk.

Sampai di dapur, Liora melemparkan Bara ke sudut kanan pojok dengan kasar hingga kepala Bara terbentur keras. Untung saja dia tidak pingsan hanya memar.

"Beban keluarga itu sampah namanya, jadi kamu itu sampah! Sekarang ibu mau kamu bersihkan rumah seperti biasa," bentak Liora dengan emosi memuncak.

"Tttappii bu, ttiiddakk bbissa llaggi," elak Bara dengan menggigil.

"Ibu gak mau tau alasan kamu, sekarang juga bersihkan! Ibu mau keluar sebentar dan nanti kalau sudah balik harus semuanya sudah bersih!" Gertak Liora pergi meninggalkan Bara.

Bara merangkak meraba meja dengan menjulurkan tangannya lalu beranjak berdiri dengan tertatih tatih, ia berjalan pelan dengan memegangi sepanjang meja dan tembok mencoba kembali ke gudang sambil sesekali memegangi kepalanya yanh terasa pusing.

Sampai di gudang, ia langsung pingsan terkapar di atas kasur dengan luka di sekujur tubuhnya. Dina yang tak sengaja lewat melihat itu langsung menghampiri Bara.

Dina menata Bara di tempat tidur lalu mengompresnya, perlahan air matanya turun deras sambil terus mengelap tubuh Bara.

"Abang, Dina sama sekali gak berubah. Hanya saja Dina terlihat kasar di depan abang itu pun karena suruhan ibu, maafin Dina bang," ucap Dhina tersedu-sedu memeluk dada bidang Bara.

Di luar sana, Cahaya mengitari pasar hingga tiga kali untuk mencari keberadaan Bara. Biasanya langsung ketemu entah itu di bangunan atau di taman, namun sekarang  sedikitpun ia tak melihat Keberadaan Bara.

"Aduh, dimana sih Bara kok gak ada di pasar. Aku harus cari dia di mana lagi coba, apa dia sakit ya?" Gumam Cahaya ngomel-ngomel sendiri.

Sementara itu, Dina bergegas membeli obat sebelum ibunya pulang dari luar. Ia berjalan cepat menghampiri pedangan terdekat di pasar, tiba-tiba saat ia sedang berjalan cepat. Dina tak sengaja menabrak wanita tinggi yang memakai seragam SMA sedang mondar mandir.

"Aww," rintih Cahaya memegangi tanagnya yang bertubrukan kuat dengan lengan Dina.

"Ma--maaf banget ya kak, aku gak sengaja," ucap Dina menunduk lalu beranjak pergi.

"Tunggu!" Sahut Cahaya memegang tangan Dina kuat menghentikan langkah Dina yang buru-buru.

"Ada apa kak? Aku buru-buru nih," timpal Dina menatap Cahaya yang memegang tangannya.

"Kamu buru-buru mau kemana? Siapa tau kakak bisa bantu," Tanya Cahaya menaikkan alisnya sebelah.

"Mau beliin obat buat Kakakku yang sakit dan aku harus cepat kembali sebelum ibuku kembali," Jawab Dina cepat.

"Yasudah aku bantu," jawab Cahaya menarik tangan Dina.

Cahaya membawanya ke apotek terdekat untuk membeli obat lalu ia antarkan Dina pulang ke rumah. Sampai di rumah Dina, Dina mengajak Cahaya masuk untuk melihat keadaan kakaknya.

Betapa terkejutnya Cahaya ketika melihat kakaknya Dina yang ternyata Bara. Pantas saja ia cari gak ada ternyata Bara sakit.

"Ba--Bara?" Ucap Cahaya gugup

Bara yang mendengar itu langsung mendongak ke arah  Dina dan seseorang di sampingnya. Ia juga terkejut melihat Cahaya ada di depannya.

"Oh Cahaya, ngapain kamu?" Sahut Bara dengan muka datar.

"Eh hmm .. ya gak sengaja ke sini lagian aku nganterin Dina pulang habis beli obat buat kamu. Kalo begitu aku pamit pulang dulu ya," timpal Cahaya menjelaskan lalu pergi begitu saja.

Cahaya sudah pergi jauh, Dina meletakkan sekresek obat di samping Bara lalu ia beranjak pergi namun di tahan tangan Dina oleh Bara.

"Din, kenapa kamu pergi? Kamu gak mau temenin abang?" Tanya Bara sedikit berbisik.

"Bang, hiks ... hiks ... maafin Dina," ucap Dina terisak-isak berbalik badan langsung memeluk Bara erat.

"Dina kenapa jadi jahat sama abang? Abang banyak dosa kah sama Dina? Atau karena Abang lembek jadinya Dina gak suka," tanya Bara membelai rambut Dina pelan.

Dina menggelengkan kepalanya, ia tak bisa bicara lagi. Tanpa berselang lama Liora pulang dari luar dan melihat rumah masih berserakan langsung menghampuri Bara di gudang.

"Beban keluarga yang lembek! Ibu tadi suruh kamu bersihin rumah bukan tangis-tangisan di sini, sekarang rasain akibatnya," teriak Liora marah sambil mengangkat dagu Bara.

"Ctarr,"

"Ctarr,"

"Ctarr,"

Suara cambukan dari tangan Liora silih berganti menyiksa tubuh Bara yang seakan tidak bisa menerimanya karena tubuhnya saja masih sakit maka dari itu sesekali Bara meluncurkan air mata untuk mengurangi rasa sakit.

                 Bersambung

Bara [END] OPEN POTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang