Part 4.Hukuman

201 21 3
                                    

Bila di dunia aku hanya sebagai bahan siksaan, kenapa dahulu aku di lahirkan?

                           -Bara-

Duduk di atas pohon besar yang ada di depan kelas, Bara mendengarkan lagu kesukaannya seperti biasa. Bara bergeser tempat ke yang lebih atas diikuti gugurnya daun-daun pohon itu membuat tukang kebun marah.

"Hei kamu! Turun," ucap Pak tukang kebun menggertak sambil menunjuk ke arah Bara.

Bara perlahan turun dari atas pohon dan melompat ke bawah.

"Ada apa pak?" Tanya Bara dingin.

"Lihat nih ulah kamu, kerjaan saya jadi gak selesai-selesai! Bapak mau kamu gantiin bapak untuk membersihkan satu sekolahan ini!" Bentak Pak tukang kebun geram pada Bara.

"Baik pak," jawab Bara langsung mengambil sapu lidi dan mulai menyapu halaman.

Bara mengerjakan dari kelas ke kelas dengan telaten. Waktu istirahat tiba, para siswa berhamburan keluar dengan berlari. Ada yang menendang sampah, ada yang menyampah di mana-mana. Bara melihat itu geram dan hanya bisa bersabar lalu membuang nafas kasar.

Pak Atmaja walikelasnya yang melihat Bara asyik menyapu menjadi geram dan bergidik pelan, ia mencepatkan jalan menghampiri Bara.

"Bara!" Teriak Pak Atmaja langsung menjewear kuping Bara ganas.

"Au ... ada apa pak?" Tanya Bara meringis kesakitan.

"Saya kira kamu tidak masuk! Eh ternyata kamu malah enak-enakan nyapu disini. Sekarang hukumannya saya tambah dengan berdiri hormat di depan tiang bendera," ucap Pak Atmaja menarik baju Bara dari belakang di bawa ke lapangan sepak bola.

"Sekarang jewer kedua telinga dengan kedua tangan lalu angkat satu kaki. Bapak mau kamu terus begitu sampai pulang," ucap Pak Atmaja tegas.

Bara melakukan apa yang di perintahkan Pak Atmaja. Pak Atmaja pergi meninggalkan Bara sendiri, tanpa berselang lama. Ada empat cowo yang lewat dan tiba-tiba menendang kaki Bara dari belakang hingga Bara tersungkur lemas dan pelan-pelan Bara bangkit sambil tertatih-tatih.

"Kenapa kamu menendang kakiku? Apa aku ada buat salah?" Tanya Bara memandang orang itu ganas.

"Huh! Lu tu pembawa sial dan selalu aja begitu, jadi orang kayak lu tu gak pantes buat di biarkan bahagia begitu saja di sekolahan ini. Harus di kasih pelajaran," ucap Salah seorang cowo dari empat gerombol anak itu.

Bara hanya terdiam sambil membuang nafas kasar, empat orang itu beranjak pergi namun salah seorang yang telah menghina Bara tadi, mendadak jatuh tersandung batu besar. Salah seorang itu menghadap ke Bara, dia berjalan mundur hingga tak melihat ada Batu di depannya.

"Bara! Ini pasti kerjaan kamu ya? Dasar pembawa sial," umpat Salah seorang itu menatap Bara sinis.

Cahaya yang memantau Bara langsung geram melihat kelakuan seorang cowo itu, usai empat cowo itu berlalu. Cahaya memakai kerudung dan maskernya lalu menghampiri Bara.

"Bara," Sapa Cahaya menyipitkan matanya.

"Ha?" Jawab Bara dingin.

"Kenapa kamu gak melawan ketika di sebut pembawa sial?" Tanya Cahaya menaikkan alisnya sebelah.

"Karna aku bukan pembawa sial, jika aku tanggapin maka aku juga merasa pembawa sial. Apa yang terjadi mereka itu sebab kehendak mereka sendiri bukan? Jadi biarlah dia sadar dengan sendirinya," jelas Bara kembali ke posisi hukumannya.

Cahaya merasa senang mendengar Bara yang tidak pernah berbicara panjang akhirnya membuka suara dan meluapkan isi hatinya, suaranya merdu dan bijak.

"Kalo gitu aku pergi dulu. Kamu benar-benar orang yang kuat," puji Cahaya berlalu meninggalkan Bara.

Bara sedikit melirik kepergian gadis itu, lalu kembali memandang ke depan. Pulang sekolah, Bara ke pasar menjadi tukang parkir.

Penghasilannya bertambah pesat sebab siang itu banyak yang memarkirkan motornya pada Bara. Bara juga tetap menjadi tukang angkut barang jika parkirannya sepi.

Bara pulang agak siang dengan uang lebih banyak dari kemaren. Sampai di rumah, Bara langsung saja berbaring di sofa saking capeknya.

Liora yang baru nyapu belakang rumah, Langsung menghampiri Bara dengan sapu masih melekat di tangannya.

"Bara! Jam segini udah pulang, jangan bilang kamu gak bawa uang lagi ya!" Bentak Liora mengangkat sapunya.

"Enggak bu, hari ini Alhamdulillah dapat banyak," ucap Bara mengeluarkan tumpukan uang lima ribuan dari sakunya.

"Apa ini! Kamu kira ini cukup untuk membayar spp adik kamu? Buat makan nanti sore aja udah habis ini, Jadi anak ada gunanya dikit lah!" Teriak Liora menyambuk Bara dengan sapu di tangannya.

"Bu, iya memang Bara gak berguna! Lagian jika masalah sekolah adek dan makan itu tanggung jawab Ayah bukan aku!" Berontak Bara meronta- ronta.

Liora langsung saja menampar pipi Bara untuk ke sekian kalinya dengan kasar dan lebih ganas,

"Plakk!" Suara pipi Bara kembali tergampar oleh tangan ibunya.

"Berani kamu udah ngelawan ibu ya! Anak gak tau diri. Anak gak tau di untung!" Umpat Ibunya pada Bara yang hanya menunduk.

"Maafkan aku bu, aku tadi hanya terbawa emosi. Bara emang anak yang gak tau diri," ucap Bara meluncurkan air matanya.

Liora mendorong Bara kasar hingga terjatuh di lantai dengandi luncuri darah dari lututnya yang terluka saat ia tadi di hukum.

Tak cukup dengan itu, Liora membawa Bara ke gudang sebagai hukuman dan mengunci dari luar. Saat hendak di kunci, Dina datang membawa boneka kecilnya. Berdiri tersenyum ke arah ibunya.

"Bu, aku juga mau di kunci dalam gudang bersama bang Bara. Ijinkan aku bu," pinta Dina memohon dengan tangan mungilnya.

"Dina! Ini semua layak untung abangmu yang udah berani membantah ibu, kamu jangan ikut-ikutan," ucap Liora  menelototi Dina.

Dina berlutut di kaki Liora dengan berlinang air mata, ia benar-benar memohon pada ibunya yang lebih sayang padanya dari pada Bara.

"Bu, Dina mohon hukum Dina dalam gudang bersama bang Bara. Dina mau bersama bang Bara," pinta Dina membuat Liora sebal.

Liora berfikir sebentar, lalu ia lemparkan Dina dengan kasar ke dalam gudang bersama Bara yang sedang merawat lukanya.

Dina menangis tersedu-sedu beranjak memeluk Bara erat. Ia kelihatan trauma atas apa yang ibunya lakukan padanya.

"Din, kenapa kamu nekat untuk bersama bang Bara? Kamu itu di sayang maka manfaatkan kasih sayang ibu dan ayah dengan baik supaya cita-cita kamu tercapai," tutur Bara mencolek dagu Dina manja.

"Bang! Abang lebih berharga daripada cita-cita Dina. Dina gak bisa belain abang dari serangan ibu jadi setidaknya Dina bisa bantuin abang merawat luka," ucap Dina dengan suara nyaringnya penuh kasih sayang.

"Luka abang hanya luka ringan, siapa yang peduli sama abang? Semuanya menganggap abang sampah. Hanya kamu yang peduli adikku," sahut Bara membelai rambut Dina halus.

"Abang pahlawanku!" Ucap Dina bertingkah manja.

                   Bersambung

Bara [END] OPEN POTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang